Bagian Duapuluh Lima

13K 948 19
                                    

Kematian itu sangat dekat, ia berada di depan mata kita. Setiap hembusan nafas, kematian menanti.

-Asma Cinta, Fathur-

NrAida

——————————————

Koreksi Typo

Happy Reading

Bismillah



Arumi menajamkan matanya melihat ke depannya, malam ini langit begitu gelap dan kabut tebal mengelilingi Arumi. Arumi tidak tahu apa yang sedang terjadi. Arumi memeluk dirinya sendiri, hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Arumi menatapi kakinya hanya terbalut kaos kaki.

"Dingin banget." ucap Arumi lirih.

Kedua tangannya mengusap bahu guna menghalau kedinginan namun nihil karena Arumi merasa udara semakin dingin.

Arumi melangkah pelan, ia melihat sekitarnya, rasanya Arumi tidak asing tempat ini namun Arumi pun tidak tahu pasti di mana keberadaannya sekarang. 

"Ibu?"

"Lilis? Papa Wira?"

Arumi terus berjalan, bibirnya menggigil tidak kuasa menahan hawa yang menusuk tubuhnya. Tanpa sadar Arumi meneteskan air matanya karena tidak menemukan ibunya, bahkan Lilis dan Wira pun tidak ada. Arumi tidak suka seorang diri seperti ini, Arumi tidak mau orang-orang yang disayanginya pergi meninggalkan dirinya seorang diri.

Arumi berhenti, di depannya terlihat sebuah Masjid. Dengan memeluk tubuhnya, Arumi memberanikan diri masuk ke dalam Masjid itu. Masjid itu begitu sunyi dan gelap. Setelah masuk ke dalam Masjid dan duduk di bagian shaf perempuan, Arumi merasa lebih tenang.

Arumi tidak tahu apa yang terjadi dan bagaimana ia sampai berada di tempat—yang bahkan Arumi tidak tahu di mana.

"Ya Allah, di mana hamba berada? Kenapa Ibu, Lilis dan Papa Wira tidak ada di sini? Kenapa hanya ada hamba sendiri?" Arumi memeluk kedua kakinya, matanya terpejam dengan air mata mengalir membasahi pipinya.

"Allah ... tempat ini dingin banget, Ibu Arumi kedinginan."

Arumi mengusap air matanya, lalu menenggelamkan wajahnya di atas lututnya. Entah mengapa Arumi tidak bisa meredakan tangisnya. Indra pendengaran Arumi menangkap bunyi langkah kaki, namun Arumi tidak berani mengangkat kepalanya melihat siapa yang mendekat.

Beberapa saat kemudian, Arumi tidak lagi mendengar langkah kaki itu. Hawa dingin yang menusuk tergantikan dengan kehangatan  menyelimuti Arumi.

"Kamu kedinginan ya? Maaf,"

"Si-siapa?"

Arumi membuka matanya, lalu melihat sekelilingnya. Arumi terbangun dari tidurnya dengan nafas tersenggal. Arumi mengusap pelipisnya, ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang.

"Ternyata cuma mimpi," Arumi bernafas lega ketika membuka matanya ternyata ia hanya bermimpi. Tetapi, Arumi merasa ada yang menjanggal di dalam mimpinya.

Suara itu terdengar tidak asing, namun saat matanya terbuka Arumi terbangun dari tidurnya. Arumi penasaran mengapa dirinya bermimpi seperti itu. Menepis rasa penasarannya, Arumi beranjak dari ranjang dan melangkah keluar dari kamar.

Karena sudah terbangun, lebih baik Arumi menunaikan shalat malamnya. Meminta petunjuk kepada Rabb-Nya mengenai maksud dari mimpinya.

—————————————

Asma Cinta, Fathur (SELESAI) REPUBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang