Bagian Tigapuluh Tiga

14.1K 945 7
                                    

Jangan sampai amarah itu menghadirkan dendam di hati, dendam itu berbahaya. sangat berbahaya karena dendam itu termasuk penyakit hati yang sulit disembuhkan.

-Asma Cinta, Fathur-

NrAida

——————————————

Fathur menatap pantulan dirinya di cermin, merapikan kerah kemeja. Setelah masa cuti kerjanya habis, hari ini Fathur harus kembali menjalani rutinitasnya di rumah sakit. Sebenarnya masa cuti Fathur habis empat hari lalu, namun kondisi tidak kondusif mengharuskan Fathur menambah masa cutinya.

Dua minggu ini terlalui dengan sangat lamban, meski begitu Fathur tetap menikmatinya. Beberapa hari ini juga Fathur membantu dokter Wira mengumpulkan bukti-bukti kejahatan yang di perbuat Bu Maudya.

"Mas,"

Fathur tersenyum melihat pantulan Arumi melangkah mendekatinya. Tiga hari setelah pengajian tujuh hari meninggalnya mertuanya, Fathur membawa Arumi tinggal di rumahnya. Bersama keluarganya.

Bukan karena Fathur tidak suka atau tidak nyaman tinggal di rumah kecil Arumi, hanya saja Fathur Arumi sendirian di rumah saat ia bekerja. Syukurnya, Arumi pun tidak menolak untuk tinggal di rumahnya, meski awalnya sangat berat bagi Arumi meninggalkan rumah penuh kenangan bersama ibunya.

"Kamu nanti jadi ke toko?"

Arumi mengangguk, matanya terpejam ketika Fathur melabuhkan ciuman di keningnya hingga menimbulkan getaran yang sudah tidak asing lagi setiap Fathur memberikan sentuhan lembut padanya.

Fathur menjauhkan wajahnya, tangannya mengelus kepala Arumi. "Janjian bertemu dengan Satria siang nanti, kan?" Fathur menunduk melihat Arumi tengah memasangkan arloji di tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih betah berada di kepala Arumi.

"Iya, siang nanti. Mas Satria bilang sebelum dzuhur, Mas Satria satu-satunya saksi penting. Harapan terakhir aku." Arumi membalas setelah selesai memasangkan jam di tangan suaminya.

Fathur mengangguk-angguk, memang saat ini semua bergantung pada kesaksian Satria di persidangan ke dua nanti.

"Apa pun yang terjadi nanti, kamu harus bisa menerimanya, Aru. Kita sudah berusaha dan serahkan semuanya kepada Allah."

"Tapi, akan sangat enggak adil kalau orang itu nggak mendapatkan hukuman berat atas perbuatannya ke Ibu. Dia udah bunuh Ibu ...."

Fathur menatap lekat wajah Arumi, mata Arumi masih berkilat amarah yang menggebu. Fathur memaklumi kemarahan Arumi. Tetapi, Fathur tidak mau kemarahan itu nantinya akan membuat Arumi hidup dalam kebencian dan dendam.

"Biarkan hukum menjalankan tugasnya, Aru. Bu Maudya pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, ya? Jangan sampai karena beban berat di kepala kamu jadi sakit."

Arumi menarik nafasnya dalam-dalam, kepalanya mengangguk pelan. Mencoba tersenyum walaupun kegundahan itu tidak akan hilang dengan mudah dari hatinya.

Fathur ikut tersenyum melihat senyuman Arumi, kemudian keduanya beralih membingkai wajah Arumi. "Amarah yang ada dalam diri kamu untuk Bu Maudya itu tidak bisa saya salahkan, sangat wajar bila kamu marah. Tapi ...." Fathur mengambil jeda, jemarinya mengusap-usap lembut pipi Arumi. "Jangan sampai amarah itu menghadirkan dendam di hati, dendam itu berbahaya. sangat berbahaya karena dendam itu termasuk penyakit hati yang sulit disembuhkan, Aru, Sayang."

Arumi terdiam beberapa saat, manik matanya bergerak mengikuti manik Fathur yang menatapnya dalam. Mengunci poros Arumi hanya pada Fathur.

"Kamu mengerti maksud saya, Aru?" Fathur bertanya lembut.

Asma Cinta, Fathur (SELESAI) REPUBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang