Part 8. Pelakor

603 87 67
                                    


Sabtu pagi yang cerah, menjadi hari paling ditunggu oleh gadis iris cokelat terang itu. Kedua orang tuanya sudah berangkat bekerja setengah jam lalu. Sekarang tugasnya adalah menjemur baju yang sudah dicucinya tadi, sembari menunggu tukang sayur lewat untuk membeli bayam dan cabe rawit pesanan ibunya.

Jemari lentik milik Khawla dengan lincahnya berselancar di atas layar. Sebuah postingan dari kontak bernama ‘Mas El’ terlihat.

[Rembulan, sampaikan jika Al A’raf  menunggu setelah ini. Manik itu terlalu cantik untuk menumpahkan titik-titik air lara . Bibir itu terlalu indah untuk mendesahkan resah dan kesah]

“Manis banget, coba Pras kayak gini,” gumam Khawla.

Setelah itu di atasnya sebuah video yang menampakkan bulan terang, diringi suara merdu bacaan sebuah ayat, bertulis caption yang membuat Khawla mengernyit.

[Q.S Al An’ām : 60]

Bibir gadis itu bergerak-gerak menggumamkan sesuatu sebelum berlari masuk ke dalam rumah, kemudian mengambil mushafnya.

“Ini ayat yang semalam aku baca.”  Monolog Khawla.

Gadis itu mengulang lagi video yang di unggah pukul 22.00 itu. Mata dan telinganya menyinkronkan huruf-huruf yang ada di kitab dan suara yang didengarnya. Sama persis, tanpa cela.

“Ya Allah, ini kebetulan, ‘kan?”

Khawla bermonolog kembali. Seuntai senyum terulas di bibir sang dara, hingga si empunya sadar dia melakukan hal yang tidak semestinya.

“Astagfirullah  Khawla! Kamu gila! Dia sudah punya istri! Ya Allah, Khawla!” Monolog Khawla.

Tangan dara itu memukuli kepalanya sendiri dan berkali-kali mengucap istigfar.

“Jangan jadi pelakor, Khawla! Naudzubillahimindzalik!” rutuk sang dara pada dirinya sendiri.

Suara klakson dan teriakan tukang sayur membuat Khawla menyudahi aktifitas monolognya.

“Mbak Nur, punya bayam nggak? Sama cabe rawit?”

Si penjual sayur dengan motor bak terbuka roda tiga itu segera mencari barang yang disebutkan Khawla.

“Ini Mbak, ada. Mau berapa bayamnya?”

“Dua ikat sama cabenya seperempat.”

Penjual sayur itu dengan sigap meladeni Khawla. Sang dara memilih-milih cemilan yang terjajar rapi di salah satu nampan khusus di bagian depan bak.

“Khawla!”

Panggilan Aisyah, sepupu Khawla membuat gadis itu menoleh.

“Dalem, Mbak!”

“Tak ajak ke Solo mau? Mbak mau cariin buku buat kembar,” tawar Aisyah dari balik pagar rumah.

“Mau Mbak, tapi aku masak bayam dulu bentar ya. Nanti nyonya pulang kalau belum mateng, bisa jadi dendeng aku.”

Aisyah tertawa. “Iya,  jam sembilan berangkat ya.”

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang