Part 41. Sad Girl

475 78 92
                                    

“Sebesar itu cintamu sama Khawla?” tanya Syam.

Semua orang di sana menegang.

“Ini bukan hanya karena Khawla.”

Elhaq kemudian keluar dan kembali masuk menggendong bocah berumur empat tahun setengah itu.

“Aku bawa oleh-oleh luar biasa untuk Mas.”

“Ini siapa?”

Anak yang kini terbangun itu mengerjap-ngerjap. “Assalamualaikum,” sapanya sembari tersenyum.

Matanya mengarah ke seluruh orang asing di sana.

“Ayah?” katanya saat menemukan sosok yang fotonya selalu di simpan snag ibu di kamar mereka.

“Ini Muhammad Zulfikar Hasbi. Putra Assyifa Haniyah. Apa kamu kenal, Mas?”

“Masyaallah!” pekikan itu terdengar dari Umi Khadijah.

“Ayah?” ulang Zul.

Tubuh Syam bergetar. Anak itu benar-benar mirip dengan dirinya saat kecil. Wanita berniqab yang kini masuk bersama pria paruh baya itu menyita perhatian keluarga Sulaiman.

“Asyifa, menantuku!” pekik Khadijah.

Ifah mendekat ke wanita berkursi roda itu dan memberi salam sambil bercucuran air mata.

"Waktu mas ceraikan dia dulu, Mbak Ifah hamil."

Elhaq menurunkan Zul.

"Zul, ini ayahmu. Muhammad Zulfikar Hisyam."

Syam masih meyakinkan diri apakah ia sedang bermimpi atau tidak. Butuh waktu semenit sebelum
tubuh tegap itu berlutut menyejajarkan dirinya pada sosok balita di depannya.

"Ayah?"

Syam merengkuh tubuh itu. Dia meyakinkan dirinya, jika tidak sedang bermimpi.

"Ayah... ini ayah? Kata Bunda, ayah ada di tempat yang paling indah, dekat sama Allah."

Syam mencium wajah yang benar-benar foto kopi dirinya tersebut.

"Le, sini... Mbah Kakung pengen meluk kamu juga."

Zul menoleh. Ia tersenyum pada laki-laki yang berada di samping ayahnya. Zul kemudian memeluk Kyai Sulaiman tanpa ragu.

"Mbah Yai? Bunda cerita kalau Zul punya Mbah Yai hebat, Mbah Nyai hebat, ada Nenek sama Eyang Uti yang hebat-hebat. Yang bisa ngaji tapi nggak usah bawa Quran. Zul juga bisa ngaji loh Mbah Yai, Zul sekarang naik iqro 5 tapi udah hapal  surat pendek sampai An Naba. Cuma belum bisa sekali duduk kayak Bunda. Zul masih lupa-lupa."

Celotehan panjang itu membuat Kyai Sulaiman dan yang lain merasa senang atas kehadiran cucu mereka.

Syam menoleh ke arah Ifah.

"Kenapa dulu kamu tidak bilang kalau sedang hamil?"

"Saya sudah mengatakannya pada Ammih. Tapi Ammih menyuruh saya pergi. Ammih bilang, Mas Syam hanya akan mengambil anak saya saja. Kemudian akan membuang saya, dan memisahkan saya dari anak saya."

"Astagfirullah, Siti," desah Sulaiman frustasi sambil memangku cucunya.

"Saya kemari hanya ingin menitipkan Zul."

"Apa maksudmu?"

Elhaq kini angkat bicara.

"Mbak Ifah sakit. Butuh donor ginjal."

"Ya Allah, Nak."

Syam menatap wanita berniqab itu.

"Kamu mau menitipkan dia karena apa?"

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang