Part 3. Komunikasi

769 114 89
                                    

lhaq yang baru saja selesai membersihkan tempat wudu menatap ponselnya dengan alis berkerut menatap isi percakapan aneh yang dikirim padanya oleh nomor tak dikenal dengan nickname LubnaKhawla.

“Haq, awas minggir.”

Pemuda itu menoleh dan segera menyingkir saat ustadz Syam dan seorang petugas kebersihan menggotong sebuah ember berisi alat-alat kebersihan ke gudang dekat toilet masjid. Gerakannya yang terlalu tiba-tiba membuat Elhaq terpeleset dan terjatuh. Ponselnya terlempar di dekat kaki ustadz Syam.

“Astagfirullah, Elhaq! Tanganmu aja belum bener-bener sembuh. Sekarang ganti pantatmu dibanting-banting?”

Elhaq meringis sambil menyebut nama tuhannya.

“Bro! Bro! Kenapa?” tanya beberapa santri yang baru selesai melakukan murajaah di masjid.

Mereka menolong Elhaq sembari menahan tawa. Syam menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah anak yang lebih muda darinya. Benda berwarna hitam yang terjatuh di dekat kakinya menyira perhatian Syam.

“Assalamu alaikum?”

Terdengar suara parau dengan setengah terisak dari ujung telepon.

“Wa alaikumussalam warahmatullah. Maaf ini siapa?”

“Saya Khawla, ada apa ya?”

“Maksudnya?” Syam mengernyit, dia justru bingung kenapa wanita itu malah berbalik tanya.

“Ada apa menelpon saya?”

“Oh, ini, tadi mungkin Elhaq yang telepon. Ini orangnya jatuh, hapenya ketinggalan. Sebentar saya kembalikan ke yang punya dulu,” ujar Syam sembari berjalan ke asrama putra, tempat menghilangnya sosok Elhaq tadi.

“I-iya ....”

Suara sesegukan di ujung telepon menggelitik telinga Syam. Siapa wanita yang menangis sambil menelpon Elhaq?

“Ya Allah, La. Jadi, dia ngancem kamu? Ngajak kamu berhubungan itu? Ya Allah, emang dasar nggak beradab itu bocah. Itu namanya pelecehan, La.”

Suara diujung telepon membuat mata  Syam membulat, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa bisa wanita itu menangis menelpon Elhaq dan ada perbincangan tentang hal tak senonoh? Setelah itu Syam segera mematikan telepon dan mencari Elhaq. Pemuda berumur dua puluh satu tahun itu terlihat sedang dipijit oleh beberapa santriwan.

“Haq! Aku mau ngomong,” kata Syam.

Kelima santri yang berada di dekat Elhaq segera menyingkir saat melihat ekspresi serius Syam.

“Ini siapa? Kenapa dia nangis dan telepon kamu?”

“Siapa?”

Syam menunjukkan ponsel Elhaq dan pemuda itu mengeceknya.

“Aku juga nggak kenal dia siapa,” jawab Elhaq santai.

Syam menatap pemuda di depannya dengan sorot menusuk, membuat Elhaq bergidik.

“Beneran aku nggak kenal sama dia, Mas tanya aja sama dia. Dia yang chat aku duluan, kok.”

Syam menghela nafas kasar kemudian merebut ponsel Elhaq dan mengetikkan nomer di ponselnya.

“Aku nggak mau kamu aneh-aneh di sini. Kurangi urakanmu, kamu sekarang jadi contoh banyak santri, kamu harus bisa membawa diri. Aku dulu sudah menikah waktu seusiamu. Sedang kamu? Masih saja kayak anak kecil. Jangan terlalu banyak tingkah, jaga bicaramu, jaga sikapmu, jaga adab.”

Elhaq hanya bisa menunduk seperti biasanya sampai Syam pergi keluar dari ruang kamar. Suara barang terbentur terdengar dari balik lemari bersusun tiga dekat ranjang paling ujung. Elhaq segera beranjak, dia berjaga-jaga kalau-kalau ada tikus di kamar yang di tempatinya bersama lima santri senior dan empat belas santri baru itu. Sapu, menjadi senjata yang disiapkan Elhaq untuk menghalau monster kecil musuh seluruh santri itu.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang