Part 12. Sang Duda

549 80 54
                                    

Selama tiga tahun terakhir, Syam menempati kamar berukuran empat kali empat meter itu seorang diri. Semenjak istrinya meninggal, dia lebih memilih tinggal di asrama yang disediakan untuk para pengajar dan pekerja pondok.

Pria tiga puluh satu tahun itu merebahkan tubuhnya yang di beberapa tempat mulai terasa yeri karena lebam yang baru muncul pasca kejadian siang tadi. Getar ponsel membuatnya kembali membuka mata dan mengambil benda pipih itu.

Ust. Kafaby

[Assalamualaikum, Dek. Kata Hana kamu tadi kena musibah? Gimana kondisinya? Maaf belum bisa kesitu. Aku sama Hafidz baru selesai acara ini]

ZulfikarHisyam

[Wa alaikumusalam
warahmatullah.
Saya tidak apa-apa, Mas, Alhamdulillah]

Ust. Kafaby

[Alhamdulillah kalau begitu. Besok Selasa aku bareng sampai Krapyak ya? Ada undangan di sana, kamu mau pulang ‘kan?]

ZulfikarHisyam

[Nggih Mas]

Percakapan itu diakhiri dengan salam. Syam tergoda untuk membuka-buka cerita yang tersaji di slide kedua laman aplikasi chatnya. Satu nama menarik perhatiannya. Sebuah cerita dengan gambar pohon beringin terpampang di slide pertama.

[Hai, pohon gagah nan menjulang. Ingatkah kau akan daun pertama yang menemanimu tumbuh? Yang telah mati dan tak lagi dikenang bumi. Mungkinkah kau hanya ingat daun hijau yang ada di sisimu sekarang? Dan setelah ia layu nanti, akankah kau kenang ataukah ia hanya menjadi guguran terbuang?]

Caption itu dibaca berulang oleh Syam.

“Kenapa aku jadi baper ya? Mungkinkah dia tahu aku duda?” Syam bermonolog.

Desah napas berat terlepas beriring istigfar.

Aku masih ingat dan selalu ingat dengan dia yang menemaniku pertama kali. Namun apa salah jika ada daun baru yang berganti menemaniku hidup? batin Syam.

Slide cerita berganti dengan gambar kertas beraksara pegon dengan caption meminta bantuan. Tak lama berganti dengan slide yang bertulis pukul 22.02 yang artinya baru dua menit dia mengunggah postingan gambar langit-langit kamar itu.

[Ya Allah, semoga dia baik-baik saja. Salahku, semua ini salahku]

Syam menekan layar dan mengetikkan sesuatu.

ZulfikarHisyam

[Elhaq baik-baik aja.
Jangan terlalu khawatir.
Dia anak yang kuat]

Tak berselang lama sebuah balasan meluncur. Tidak hanya satu tapi beberapa chat datang mengeroyok ruang percakapan.

Rusa

[Eh, Ustadz.
Bagaimana kondisinya?
Kata Mas El,
dia habis ngobatin Ustad ya?
Ada yang sakit? Banget?
Parah nggak Ustadz?
Maafin Khawla ya.
Gara-gara Khawla, Ustadz sama Mas El jadi repot.
Maaf ya. Maafin.
Ya .... maafin Khawla ya]

Seulas senyum tergambar di bibir sang pria. Namun, telepon dari Hafidz membuat Syam urung membalas percakapannya dengan Khawla. Sang piminan pondok menanyakan kejadian tadi siang yang di dengarnya dari sang istri.

“Syam, apa yang kamu tolong itu orang yang sama dengan yang membuat kamu senyum-senyum tempo hari? Zia cerita, namanya Khawla ya?” tanya Hafidz

“Ustadz ... itu ... dia teman Elhaq.”

“Syam, aku bicara sebagai sahabat kamu. Apa benar akhwat itu yang mencuri hati Ustadz Zulfikar Hisyam?” Ada kekehan yang terdengar di ujung telepon.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang