Part 16. Khat Naskhi

441 77 74
                                    

🌅🌅🌅

"Ada beberapa jenis khat, mulai dari yang sederhana, yaitu Khat Naskhi, hingga yang rumit seperti khat Diwani jali yang bentuknya menyerupai bangun ruang atau benda-benda tertentu. Semuanya sama-sama indah, sama cantiknya. Dan menurutku, kamu kayak khat Naskhi. Simpel, sederhana, apa adanya, nggak berlebihan, tapi cantik. Tanpa dipoles pun, kamu udah cantik paripurna."

🌅🌅🌅

Rumah berpekarangan luas dengan hiasan kaligrafi di beberapa sudut, berpotongan langsung dengan bangunan berlantai tiga yang berjajar di bagian belakang. Tak semewah pesantren Nurul Ilmi terntunya karena di sini pesantren untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Kenangan manis masa kecil menyeruak saat pemuda itu turun dari mobil berwarna putih milik sang kakak.

"Ayo masuk, mereka pasti kaget kita pulang," ajak Syam.

Elhaq mengikuti sang kakak, berjalan ke arah pintu berukir khat bacaan salam itu.

"Assalamualaikum warahmatullah," teriak Syam.

Jawaban salam terdengar. Seorang wanita tergopoh-gopoh menuju ke arah pintu.

"Ya Allah! Umi! Abah! Ummah! Gus Syam pulang! Gus Syam pulang!" teriak orang itu.

Syam terkekeh melihat keterkejutan adik ke sepuluhnya, Fatimah, yang memang sejak kecil ikut itnggal di ndalem ageng, sebutan rumah Kyai Sulaiman dan Nyai Khadijah oleh para santri. Elhaq masih berada di teras, dia masih mengulang surah Al Ikhlas sebanyak tiga kali sebelum mengikuti sang kakak masuk ke dalam rumah.

"Syam! Anakku!"

Syam segera menerima uluran tangan Ummah Zahroh.

"Ummah, Syam bawa hadiah buat Ummah."

Syam menggeser tubuhnya dan sosok jangkung itu kini terlihat sempurna oleh sang ibu kandung. Elhaq tak banyak berkata, dia langsung bersujud, memeluk kaki sang ibu.

"Assalamu alaikum. Ummah. Elhaq pulang," ucapnya.

Zahroh tak kuasa menahan tangis bahagia. Dia sangat merindukan sang putra. Keadaan membuat mereka berpisah sekian lama. Zahroh membatasi diri untuk menelpon sang putra selama ini, karena takut jika putra kandung semata wayangnya itu tidak betah di perantauan.

"Le, kamu pulang. Kok, nggak ngabari, Ummah."

Seorang wanita dengan kursi roda dan pria paruh baya yang masih gagah dengan sorban dan gamis putih ikut keluar. Syam segera memberi salam tan bakti pada kedua orang itu.

"Syam, kamu bawa adikmu pulang, Le. Anak umi, Elhaq, umi kangen juga," ucap wanita di kursi roda itu sembari mengulurkan tangan.

Zahroh melepaskan pelukannya, membiarkan sang anak memebri tanda bakti pada Kyai Sulaiman dan Nyai Khadijah. Elhaq melakukan hal yang sama, sungkem pada ibu tiri dan ayahnya.

"Kamu kok, kurus Le? Apa makanan di sana nggak sesuai seleramu?" tanya sang ayah.

"Elhaq sudah maem banyak tapi nggak bisa kayak mas Syam, Bah. Cuma tambah tinggi, nggak bisa berisi," jawab pemuda itu.

"Gantenge, anakku. Umi kangen," ucap Nyai Khadijah.

Elhaq kembali memeluk ibu tiri yang selalu menyayanginya seperti ibu kandung itu. Nyai Khadijah, tidak pernah membedakan Elhaq dan Syam. Jika membelikan Syam baju, Elhaq pati juga akan dibelikan barang yang sama. Bahkan makanan sekalipun, selalu membeli dua.

"Fatim, kamu ngapain di situ? Sini sama Mas, sama Elhaq," ujar Syam saat melihat adik tirinya sesegukan di balik tirai penghubung ruang tamu.

"Fatim seneng Gus Syam sama Gus Elhaq pulang," ucap wanita yang satu tahun lebih tua dari Elhaq itu.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang