Part 19. Keluarga Bahagia?

479 86 57
                                    

Romantisme Jogja di kala senja memang tak ada duanya. Burung-burung berkeok di udara membentuk jajaran bak busur panah ke arah selatan. Kembali ke sarang mereka setelah seharian berkelana mencari rejeki.

Le, ngapain kok ngelamun di situ?”

Zahroh mengamati pemuda bersarung kotak hitam abu-abu yang sedang menatap langit di teras belakang.

“Ummah ... liat langitnya. Bagus,” ucap Elhaq.

Tangan wanita itu terulur, membelai surai hitam sang putra dan mengecup puncak kepala itu penuh sayang. Dua puluh satu tahun usia sang putra, namun, Zahroh hanya benar-benar mengasuhnya sampai usia sepuluh tahun saja. Sebelas tahun sisanya, Zahroh menitipkan sang putra pada Sang Maha Hidup, demi membekali putranya ilmu agama di kota tetangga.

“Ummah seneng kamu mau pulang, ummah kangen kamu, Le."

Elhaq memeluk ibunya.

“Besok, kalau kamu sudah menikah. Apa boleh ummah ikut kamu?”

Setetes air mata membasahi pipi wanita itu. Elhaq paling tidak suka jika surganya menangis.

“Ummah ... ada apa? Ummah selama ini nggak pernah mau pisah sama Umi dan Abah.”

Wanita itu masih tenggelam dalam tangisnya. Elhaq masih menunggu sang ibu yang menangis di dadanya.

“Ummah nggak mau lagi jadi benalu di sini. Ummah pengen keluar dari sini. Tapi, ummah nggak bisa. Kalau ummah keluar dari sini, nanti Umimu siapa yang merawat. Sudah dua puluh lima tahun ummah merawat Umimu.”

Bagi Zahroh, Nyai Khadijah adalah sosok seorang kakak, ibu, dan panutan. Mereka berdua saling menyayangi satu sama lain, meski berbagi cinta dari satu laki-laki yang sama.

“Ummah merasa berdosa, setiap kali dekat dengan abahmu. Ummah merasa hina, Le. Harusnya Umi yang mendapat perhatian utuh. Tidak terpecah, tidak terbagi seperti ini. Dua puluh delapan tahun, Umi tahan dan sanggup dimadu oleh abahmu. Bukan hanya satu, tapi tiga madu. Betapa luar biasanya Umimu, betapa lapang dadanya beliau. Itu justru membuat ummah merasa tertekan. Ummah merasa berdosa, terlebih ketika abahmu memperlakukan ummah dan Umi dengan kelembutan yang sama. Ummah merasa terbebani dengan itu.”

Kini dia sudah cukup dewasa. Sang ayah, Kyai Sulaiman, memang memiliki empat istri, tetapi sangat adil. Semua mendapat hak yang sama, walau menurut dua istrinya yang lain, perlakuan itu tidak cukup membuat mereka lega. Marwah dan Siti merasa diabaikan hanya karena mereka tidak bisa memiliki anak laki-laki, sehingga putri-putri mereka seolah dianaktirikan.

Padahal jelas, pembagian warisan dalam islam jelas tertulis jika anak laki-laki mendapat hak yang lebih besar dari anak perempuan. Masalah klasik yang membuat keluarga besar itu tak pernah benar-benar rukun.

“Ummah, kalau memang Ummah ingin pergi dari sini. Elhaq akan ajak Ummah kemanapun Elhaq pergi,” tutur pemuda itu.

Deheman terdengar dari pintu yang menghubungkan antara dapur dan teras belakang. Sosok laki-laki gagah berpeci itu melangkah. Usianya memang sudah lima puluh enam tahun, tetapi wibawanya tak berkurang sedikitpun. Wajah Elhaq dan Syam terkopi sempurna dari pria itu. Zahroh segera menghapus airmatanya dengan ujung kerudung.

“Dicari-cari, biasanya sudah ngaji di depan, kok tumben nggak ada. Ternyata lagi berduaan sama cowok ya,” ujar sang Kyai.

Elhaq terkekeh. “Abah, pinjam pacarnya benatar. Masih kangen-kangenan ini.”

Zahroh segera berdiri kemudian mempersilakan suaminya duduk di tempat ia duduk tadi. Kyai Sulaiman segera menduduki kursi di samping sang putra. Zahroh kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil minuman tapi sang suami menarik lembut tangannya, menuntun wanita itu untuk duduk di pangkuannya. Zahroh sempat menolak tapi tatapan lembut namun memikat milik sang suami membuatnya lemah.

“Bah, malu sama Elhaq."

Kyai Sulaiman merengkuh tubuh mungil sang istri, satu kecupan di pipi kanan membuat Zahroh semakin merona.

Astagfirullah, Bah, mataku ternoda, Bah. Ya Allah, anakmu ini berusaha jadi singelillah sampai bisa cari nafkah yang mapan sebelum menghalalkan nama yang dilangitkan. Malah dipameri keuwuan. Wah , Abah nggak berperikejombloan,” gerutu Elhaq dengan gaya konyol khasnya.

“Salahmu, sendiri. Abah sudah menawarkan. Kamu kalau mau menikah, ayo sekarang juga tak lamarke. Kamu bisa ngajar di sini. Ngopeni  pondokmu sendiri. Masmu juga sama saja, malah pilih ikut orang lain. Disuruh neruske Abah ndak mau,” ucap sang Kyai.

“Aku mau mandiri dulu, Bah. Aku masih mau belajar lagi.”

“Kamu mau lanjut S2 kayak mas mu?”

Elhaq tak langsung menjawab. “Baru nabung buat itu, Bah.”

Kyai Sulaiman yang kini memposisikan dagunya di atas bahu sang istri beristigfar.

“Bungaku, liat anak kita. Walau cassingnya persis sama aku, tapi pikirannya sama kayak kamu. Nggak pernah kalian itu nerima apa yang abah kasih. Selalu saja ditolak dengan alasan nggak enak, sungkan. Aku ini penanggung jawab kalian. Besok di akhirat aku yang nanggung kalian semua. Kalau ditanya, Man, Sulaiman, itu istrimu Zahroh kok masih jualan gorengan tiap hari, apa nggak pernah kamu kasih uang? Itu anakmu Elhaq mau sekolah nggak jadi-jadi, apa nggak pernah kamu perhatikan? Terus aku mau jawab apa?”

Zahroh dan Elhaq saling berpandangan dan hanya bisa meringis. Memang kenyataannya dua orang itu sama persis. Mereka tidak mau membebani Kyai Sulaiman dan semua orang yang ada di sekitar mereka.

“Ampun duko, Bah. Jangan marah. Kulo nggak mau ngerepotin, Abah,” ucap Zahroh lembut.

Kyai Sulaiman masih menghela nafas sembari menampilkan ekspresi kesal.

“Elhaq juga sama, Bah. Uang dari Abah, Elhaq tabung buat jaga-jaga kalau ada hal penting mendadak. Makanya sejak lulus kemarin, Elhaq coba cari uang sendiri buat lanjut kuliah. Sembari ngelamar beasiswa, siapa tahu bisa tembus. Doanya ya Bah, Mah."

Kyai Sulaiman menepuk-nepuk kepala sang putra.

Masyaallah, Umi tadi sudah pulang belum ya?” kata Zahroh panik.

“Belum, mereka mampir ke tempat Marwah dan Siti. Biarkan Syam jalan-jalan sama Uminya. Jarang-jarang juga mereka ketemu. Kita juga, jarang-jarang bisa di rumah bertiga.”

“Oh, ya sudah. Ummah mau nutup pintu depan dulu, sudah setengah lima.”

Zahroh berdiri dan membelai pipi putranya. Sulaiman ikut beranjak, kemudian dengan satu sentakan membopong sang istri.

Astagfirullah, Bah!” pekik Zahroh yang kini berada di gedongan sang suami.

“Haq, tolong isi tower airnya ya. Tungguin sampai penuh,” titah sang ayah,

“Nggih, Bah. Jangan lama-lama. Sudah mau maghrib,” goda Elhaq saat melihat orang tuanya menghilang di balik pintu.

“Oalah, nasib-nasib. Di Solo, dipameri Ustad Kafaby sama Ummah Hana, di sini Abah sama Ummah. Kita kapan ya, Khawla?” Monolog Elhaq yang kemudian menutup mulut dengan tangannya sendiri.

“Woh, Elhaq edan! Pikiranmu lo, Haq. Astagfirullah, ah ngosek WC masjid aja. Dari pada mikir aneh-aneh,” ucap pemuda itu pada dirinya sendiri.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Siap untuk mengorek keluarga The Sulaiman?

Terima kasih sudah manpir

😍😍😍
🙏🙏🙏

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang