Part 44. Tiga Tahun Kemudian

500 76 69
                                    

Hari-hari berlalu begitu saja, memang nyatanya hidup benar diumpamakan hanya untuk mampir minum belaka. Meski di dalamnya sering kali harus dihadapkan dengan hal-hal yang cukup menguras tenaga dan tak jarang memeras air mata.

Tak lagi menyandang status mahasiwa, kini ia sudah menjadi staff di salah satu perusahaan penerbitan.

“Bella! Sini!”

Khawla memutar arah langkahnya. Banyak rekan kerjanya yang memanggilnya Bella karena menurut mereka nama Khawla susah dilafalkan dan sedikit aneh. Alhasil, Khawla meminta rekan-rekannya memanggil Bella saja.

“Ada apa, Bu?”

“Tolong cek penulisannya, ini udah sesuai belum. Kamu tahu kan saya nggak bisa baca huruf kayak gini.”

Khawla tersenyum, dia membaca tulisan di kertas yang dibawa oleh bosnya.

“Sekalian kamu awasin ya pengerjaan dan pemasangannya nanti. Seperti yang kita rapatkan kemarin.”

“Baik, Bu. Tapi saya urus naskah dulu ya, Bu.”

“Oke. Setelah itu kamu langsung ke masjid.”

Perusahaan penerbitan yang terletak di pinggir kota Solo itu kini tengah membangun sebuah masjid di sisi utara gedung terbaru mereka.

Khawla segera pergi ke masjid untuk mengecek pemasangan ornamen di sana. Teriknya matahari membuat sang dara setengah berlari saat menyeberang dari gedung utama ke arah masjid.

“Awas Mbak, nanti jatuh loh,” goda beberapa pekerja bangunan.

Khawla hanya tersenyum simpul tak menanggapi.

“Pak, tulisannya sudah mulai dipasang?”

“Sudah Mbak, yang di dalam sudah mulai dipasang.”

Khawla mengamati pengrajin kaligrafi itu mengukir di atas keramik.

“Wah, ini nanti yang kaca dimasukin ke keramiknya Pak?” kagum Khawla.

“Iya Mbak, juragannya langsung yang buat Mbak. Saya sama yang lain tinggal bagian finishing dan nempel-nempel.”

Khawla sedikit berbincang sembari mengecek tulisan yang ada di sana.

“Ini kok bisa cepat sekali, Pak? Belum seminggu sudah selesai.”

“Sebenarnya ini tiga hari sudah bisa selesai. Tapi, tangannya nggak bisa diajak kompromi.”

Khawla mendengar obrolan itu, dia tertarik untuk melihat kaligrafi yang sudah di pasang di dalam masjid yang baru delapan puluh persen jadi itu.

“Kenapa Pak? Sakit?”

“Dulu pernah retak Pak. Sebelumnya saya bisa sehari bikin belasan kayak gini, sekarang dapat sembilan saja sudah bagus.”

“Kecelakaan ya Pak?”

“Jadi Superman saya, Pak.”

Tawa membahana menggema di ruangan berukuran 12x 10 meter itu. Khawla mematung. Dia kenal dengan suara pria itu, tetapi tidak dengan sosoknya yang tinggi dan tubuh berisi. Di dalam pikirannya, sosok tinggi kuruslah yang memiliki gaya bicara seperti itu.

“Mbak Bella, minggir dulu dong cantiiik,” tegur salah seorang rekannya yang tengah membawa jam digital berukuran satu setengah meter.

Khawla segera menyingkir.

“Mbak La, nanti makan siang bareng yuk.”

“Eits, main tikung aja lu. Gue duluan heh! La, jalan yuk?”

Khawla hanya tersenyum simpul sembari menangkupkan kedua tangannya di dada.

“Maaf, aku mau ngerjain tugas dari Bu Bos dulu ya.”

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang