Part 2. Nomor Tak Dikenal

978 129 130
                                    

Teriknya matahari Jogja, begitu menyengat. Pendingin ruangan yang sudah disetel dalam suhu terdingin seolah tak memberi efek apapun.

“Kayaknya kiamat beneran udah deket. Panasnya kayak di neraka,” celetuk Fitri setengah berbisik.

Khawla yang duduk di samping gadis mungil asal Bojonegoro itu hanya tersenyum simpul.

“Wah, ahli neraka curhat tentang tempat tinggalnya,” sahut Bima yang duduk di belakang Fitri.

Astagfirullah, naudzubillahimindzalik!”

Pekikan Fitri membuat semua orang yang mengikuti kelas filologi siang itu menoleh. Gadis itu akhirnya meminta maaf atas kekonyolan yang ia perbuat sebelum menggeram pada Bima yang terkekeh di belakangnya. Khawla hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kedua sahabatnya.

Getar ponsel membuat gadis itu berpindah fokus. Ada nomor tak dikenal menelepon. Satu kali, dua kali, dan tiga kali panggilan dibiarkannya tanpa diangkat karena kelas belum selesai. Tak lama sebuah pesan muncul.

0878xxxxxxxxx

[Mbak La, ini Khalid. Besok Mbak jadi ke sini? Tolong beliin sandal ya. Sandalku hilang.]

LubnaKhawla

[Oke ganteng. Ukurannya berapa, sih? Ini kamu bisa WA pakai hape siapa?]

Lama, tak ada balasan lagi. Khawla menyimpan ponselnya.

“Tugas minggu depan, kalian cari naskah beraksara pegon, kemudian transliterasikan.”

Bu Ratna mengakhiri kuliah filologi hari itu dengan tugas yang cukup membuat kepala auto sebelas dua belas dengan tulisan pegon, tak berkharakat, gundul.

“Mau ke perpus keraton atau ke Pakualaman?” tanya Fitri pada Khawla.

“Aku mungkin cari di Radya Pustaka aja, Fit. Sekalian pulang kampung. Aku mau nengokin adikku di pondok.”

“Wih, adikmu nyantri ya? Ustadznya ada yang bening nggak? Ah, merindukan cowok-cowok bau surga. Kangen pesantren, aku.”

“Pikiranmu loh, cowok terus. Katanya nggak mau pacaran,” sahut Khawla sembari memasukkan alat tulisnya ke dalam tas ransel kesayangan.

“Yang bilang mau pacaran siapa? Aku kan bilang, merindukan cowok bau surga. Kalau ada santri-santri yang gebet-able tinggal dicem, terus langitkan. Siapa tahu tembus.”

Astagfirullah Fit, kamu pikir para ikhwan itu nomer togel, bisa tembus.”

“Sulit, ngomong sama orang kayak kamu,” dengkus Fitri kesal.

 “Fit, ke Mirota yuk, aku mau beliin sandal adikku.”

“Oke, mampir pempek dulu ya? Tapi macanmu aman nggak?”

Fitri teringat pada kekasih Khawla yang dijuluki macan olehnya karena kelakuan pemuda itu sering kelewat batas.

“Anak sastra Jepang lagi pada seminar, kok, sampai jam lima sore.”

Tak lama dua mahasiswi itu pergi ke sebuah warung pempek yang teletak di belakang restoran ayam cepat saji, di seberang supermarket Mirota Kampus. Harga merakyat dengan porsi besar, menjadi pilihan fovorit bersantap bagi para mahasiswa yang uang sakunya pas-pasan seperti Khawla dan Fitri. Sebuah pempek kapal selam dan lenjer tersaji di piring Khawla.

“Wih, kuah yang pedes dong,” pinta Fitri sembari menunjuk botol kuah bertulis pedas di dekat Khawla.

“Nih, acar sekalian nggak?” tawar Khawla. Fitri mengangguk, kemudian menambahkan banyak potongan timun ke dalam pempeknya.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang