Part 37. Cinta dan Luka

411 74 24
                                    


Suasana di IGD terasa begitu mencekam. Setelah satu jam terlewati, keluarga diperbolehkan menemui Marwah yang sempat kejang.

"Syam ... Elhaq ...,” lirih dan terbata Marwah mencoba berbicara.

“Syam, Ammahmu mau bicara,” kata Sulaiman sembari berderai air mata. Syam beringsut mendekat.

“Syam ... Ammah sayang,” ucap wanita itu sembari menatap lemah Syam.

“Iya Ammah, iya. Syam juga sayang Ammah.”

“Elhaq ... sayang ....”

Syam menciumi tangan dingin wanita itu. Darah kembali mengucur dari hidung si wanita.

“Elhaq pasti tahu Ammah sayang Elhaq.”

“Kha ... Khawla ....”

 Satu helaan napas yang sepertinya sangat menyakitkan dihirup Marwah dengan bantuan oksigen.

“Marwah, istriku, kamu harus kuat. Ya,” lirih Sulaiman sembari memeluknya.

“Abah... maaf. Maafkan aku."

Sulaiman mencium kening istri keduanya. "Aku tidak punya sedikitpun kekecewaan atau amarah atasmu. Aku ridho denganmu. Sungguh."

Marwah tersenyum tipis. Ia lega suaminya tak menaruh benci dan kecewa padanya.

"Asshadu alla illa ha illallah ... Laa illa ha illallah,” ucap Marwah sebelum tubuhnya menegang dan matanya terpejam melunglai di tangan sang suami.

“Ammah! Ammah!” teriak Syam.

Proses itu terasa begitu cepat.

“Innalillahi wa innailahi rojiun,” ucap Sulaiman sembari memeluk tubuh lunglai di dekapannya.

Syam tak kuasa menahan tangis. Para perawat sempat datang untuk memastikan apakah benar beliau telah wafat atau belum dan akhirnya Marwah dinyatakan meninggal dunia.

Kabar duka memayungi keluarga besar pesantren. Semua santri berkumpul di masjid, merapalkan doa untuk dikirim pada satu nama yang sama. Khadijah dan Zahroh saling menguatkan di samping jenasah Marwah yang telah disalatkan.

Medina, Mecca, Malika, Mafaza, dan Maryam benar-benar terpukul.  Fahma, Fara, dan Farida ikut merapal doa, sedikit rasa penyesalan menyelubungi ketiganya karena di waktu akhir Marwah, mereka malah bertengkar tanpa sempat meminta maaf.

“Ammah ....” raung Fara yang masih menyesali perbuatannya.

Malika mengelus bahu Fara. “Sudah, doakan saja. Ammah pasti sudah memaafkanmu,” ucap wanita itu berusaha tegar meski mata merah dan wajah kuyu berkalung duka masih tergambar jelas di sana.

Siti tak tampak di sana bersama Farzana putrinya. Siti sempat pingsan dan kini terbaring di ndalem ageng, ditemani Farzana.

“Kamu nggak usah pulang nggak apa-apa. Sebentar lagi akan dikebumikan, kamu pulang pun pasti juga acara sudah selesai. Ujianmu lebih penting,” kata Syam sambil menempelkan benda pipih di telinganya.

Elhaq, di ujung telpon terisak pilu. Ingin rasanya dia pulang dan melihat jenasah ibu tirinya terakhir kali, namun, kakak-kakaknya melarangnya. Mereka tahu jika Elhaq tengah disibukkan dengan penelitian thesisnya. 

Mas, tapi aku pengen pulang,” rengek Elhaq.

“Nggak usah, tenang aja. Kamu doakan dari situ. Ammah bilang Ammah sayang kamu. Kamu sudah janji kan sama Ammah, untuk menyelesaikan sekolahmu secepatnya. Ammah meninggalkan wasiat yang disimpan Malika, untuk kita. Doakan Ammah, jadikan lecutan untukmu berjuang di sana. Ammah sangat ingin kamu mengambil alih apa yang telah dirintisnya sampai saat ini.”

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang