Part 46. Nol Kilometer lagi

498 83 138
                                    



Derai air mata membuat pandangan Khawla kabur, tetapi dia tetap menginjak pedal gasnya. Khawla bahkan tak tahu tujuannya  kemana. Suara klakson menyadarkan gadis dua puluh dua tahun itu. Perlahan dia menginjak remnya, berhenti di lampu merah. Suara kereta terdengar melintas di atas.

Astagfirullah, kok aku malah ke sini?”

Gadis itu bermonolog saat menyadari dirinya salah jalan. Seharusnya dia tadi mengambil lajur kiri untuk kembali ke Solo, tetapi dia malah terlanjur membelok ke arah kanan, menuju Malioboro. Khawla terpaksa mengikuti arah dan memutuskan untuk menepi di salah satu area khusus parkir. Tanpa tujuan, dia perlahan menyusuri area parkir, kemudian mengarahkan kakinya melangkah ke deretan lorong Malioboro.

“Mbak awas!” Suara teriakan terdengar disusul dentuman benda.

Khawla yakin jika benda itu telah jatuh saat sesuatu mengenai tubuhnya. Matanya yang tertutup  karena rasa takut perlahan membuka saat mendengar detak jantung yang begitu cepat terdengar di telinganya.

“Dek.”

Khawla meyakinkan diri jika dirinya tidak tengah bermimpi. Dia mengerjap-ngerjap. Obat yang diminumnya tadi mungkin tengah beraksi membuat halusinasinya begitu nyata. Suara Elhaq, aroma tubuhnya, hangat dekapannya, semua itu terasa begitu nyata.

“Mas El, kenapa aku harus ngimpiin kamu lagi. Aku udah gila, aku gila ... Mas El jahat ... kenapa kamu jahat” racau Khawla.

Khawla mendengar isak tertahan di atas kepalanya.

“Mbak, maaf. Mbak sama Masnya nggak apa-apa?”

Khawla terdiam, dia menatap orang-orang yang mendatanginya kemudian mendongak menatap ke arah orang yang berdiri di sampingnya. Kepalanya terasa begitu sakit membuat Khawla limbung dan terjatuh.

“Dek,” panggil Elhaq,

Pemuda itu dengan sigap menggendong Khawla. Beberapa orang tadi sempat membantu Elhaq mencarikan minyak angin dan membantu menyadarkan Khawla.

Aroma minyak angin  akhirnya menyadarkan gadis yang kini terbaring di mobil itu. Dia masih merasa pusing.

“Dek kamu tunggu dulu, aku cariin minum.”

Pemuda itu menghilang bersama beberapa orang yang sempat berkerumun tadi. Tak lama dia datang dengan sebuah kelapa muda.

“Minum dulu.”

Khawla hampir menolak, tetapi pemuda itu memaksanya, membuatnya tak berkutik.

“Mas ngapain di sini. Acara Mas kan jam sepuluh mulai.”

“Aku mau nemenin kamu.”

“Mas, itu acara penting buat kamu.”

“Kamu lebih penting.”

“Jangan bercanda, cepetan pulang.”

“LUBNA KHAWLA AZZAHRA, KAMU ADALAH HAL TERPENTING DI HIDUPKU!”

Rahang kokoh nan maskulin itu mengeras. Hembus napas terdengar seiring tangannya menyerukkan rikma. Khawla membeku di tempat.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang