Epilog

498 19 11
                                    

Elhaq tak henti mengais rezeki demi penghidupan terbaik untuk mereka. Namun, di sisi lain, Khawla, kadang merindukan sosok suaminya yang dulu. Penuh perhatian dan selalu siap sedia untuknya ketika dibutuhkan. Keadaan mendewasakan mereka. Bersyukur, kekuatan iman  yang menjadi dasar cinta berumah tangga tetap menguatkan mereka.

“Elhaziq! Khaileena!”

Wanita dengan gamis biru muda itu terlihat mencari-cari keberadaan dua bocah kecil yang sepuluh menit lalu merengek minta susu.

“Haz! Khai!” Ulang Khawla sembari memasuki kamar-kamar dan ruangan yang mungkin digunakan dua anak tengilnya itu.

“Umi kenapa teriak-teriak?”

Pria bercambang tipis itu masuk ke dalam rumah dan meletakkan jambu kristal yang baru dipetiknya dari kebun. Khawla menghela napas.

“Anak-anak Abi tuh, ngilang lagi. Barusan ngerengek minta susu, giliran udah jadi, mereka kabur.”

Elhaq terkekeh, Putra dan putri kembarnya memang menuruni sifat isengnya yang kadang membuat Khawla sampai menangis karena gemas.

“Ya Allah, umi dulu salah berdoa pengen punya anak yang kayak bapaknya. Umi mikirnya itu salehnya, santunnya, gantengnya, tingginya, pinternya, tapi kok recehnya juga nurun. Ya Allah, dulu ngadepin satu orang receh aja pusing. Sekarang ada tiga,” dengus Khawla.

Tawa Elhaq semakin keras. “Dari pada marah, nih cicip. Manis nggak?”

Elhaq menyuapkan potongan jambu kristal hasil kebun mereka. Seketika amarah Khawla menguap.

“Abi hari ini libur?”

Pria itu mengangguk. “Mas Syam bilang mau dateng dan kayaknya udah lama ya abi nggak di rumah pas hari Minggu.”

Alhamdulillah kalau sadar,” gumam Khawla.

“Kenapa Mi?” tanya Elhaq.

Khawla menggeleng sembari menerima suapan dari orang yang memangkunya itu. Elhaq sesekali mendaratkan kecupan di pipi Khawla, sudah lama rasanya tidak berdekatan dengan istrinya. Setiap malam, saat dia pulang kerja, Khawla sudah terlalu lelah mengurus anak-anak mereka. Ditambah lagi kesibukan pekerjaan sebagai editor freelance sang istri yang membuat waktu kebersamaan mereka benar-benar hilang tiga tahun terakhir.

“Cie ... cie ... suap-suapan kayak dedek bayi,” ledek anak laki-laki berumur empat tahun yang muncul bersama gadis cilik yang kini bibir dan pipinya merah karena lipstik.

Astagfirullah, Khail! Kamu ngapain itu pakai merah-merah segala?”

“Habis mainan princess-princessan sama Abang,” kata bocah itu jujur.

Assalamualaikum!

Assyifa muncul bersama tiga putra dan empat putri mereka, sementara Syam mengekor di belakang sembari membawa tas perlengkapan anak bungsunya yang abru berumur empat puluh hari.

Wa alaikum salam warahmatullah.”

Suasana mendadak berubah ramai. Tujuh anak Syam ditambah dua anak Elhaq, selalu membuat dunia gempar jika sudah bersama. Si sulung Zul kini sudah masuk pesantren, jadi hanya tujuh adiknya yang tinggal bersama orang tuanya.

Belum lagi jika berkumpul dengan sepupu mereka yang lain. Dari tiga belas anak kyai Sulaiman, empat puluh dua cucu telah lahir. Pemegang rekor tetap Syam yang mempunyai delapan anak, sedang rekor terendah tetap Elhaq dan Khawla yang hanya memiliki si kembar.

“Zacharia, sayangnya Umi Lala, gembulnya,” kata Khawla saat menggendong bayi berumur empat puluh hari itu.

“La, kamu nggak pengen nambah lagi?” tanya Syam.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang