Part 34. Memperjuangkan

383 69 39
                                    

Saat Syam dan Khawla sampai di ndalem ageng, Khadijah sudah diperiksa oleh dokter Usman. Dokter yang praktek di klinik kesehatan dekat pesantren.

“Gus, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit."

Syam tak berpikir panjang, dia langsung mengiyakan. Usman menawarkan diri untuk membawa mobilnya, sedang Syam menjaga sang ibu di belakang. Medina dan Khawla menyusul dengan mobil lain sembari membawa kebutuhan Khadijah.

“Gus, selama ini Nyai Khadijah periksa dimana?”

“Di rumah sakit umum, tapi kalau nama dokternya saya nggak hapal, Bang. Fatimah yang tahu.”

“Apa ada keluhan soal tidur? Insomnia atau semacamnya?”

“Tidak pernah, Bang. Selama ini Umi tidak pernah mengalami gangguan tidur. Memangnya ada apa, Bang?”

“Sepertinya Nyai Khadijah terlalu banyak mengonsumsi obat tidur. “

“Obat tidur? Tapi, mana mungkin?”

“Saya tadi sempat melihat bungkus obat yang tadi dikonsumsi Nyai Khadijah. Medina yang menemukannya di tempat sampah.”

“Medina salah kasih obat?” gumam Syam.

“Dina bilang, dia baru datang tadi. Kemudian waktu membangunkan Nyai Khadijah untuk memberikan air kelapa, ternyata kondisi Nyai sudah seperti ini. Sebelumnya bu Farzana dan Fahma yang menemani. Untung tadi Medina segera telpon saya.”

Syam menghela napas.

“Bang, boleh saya minta tolong?” tanya Syam hati-hati.

“Apa Gus? Kalau saya bisa bantu, akan saya lakukan.”

“Tolong jangan bicara pada siapapun soal ini.”

Usman mengangguk, sementara pikiran Syam semakin tak karuan. Sejak kejadian kemarin, dia dipusingkan dengan laporan dari orang-orang kepercayaannya yang menceritakan temuan lapangan tentang kejadian yang menimpa Khawla.

Bukan Khawla target utamanya, tetapi semua petunjuk di lapangan mengisyaratkan jika Zahroh lah targetnya. Kotak itu terjatuh dari ruang pengurus aset. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya karena menurut laporan petugas keamanan, CCTV di lantai dua gedung utama rusak sejak lima hari lalu.

Ya Allah, siapa yang sengaja melakukan ini? Kenapa seolah semuanya datang bertubi-tubi?”

Syam memijat dahinya yang berdenyut nyeri. Bibirnya tak lepas dari istigfar, memohon ampunan pada Sang Khalik.

Khadijah yang masih belum sadar, segera ditangani oleh petugas IGD ditemani dokter Usman. Medina dan Khawla menyusul dengan wajah tak kalah cemas.

“Din, kenapa Umi bisa kayak gitu?” tanya Syam dengan wajah datar.

“Mas, tadi itu aku dapat telpon disuruh ke rumah Ammih, ambil kado titipan buat Ummah sama dedek bayi.”

“Siapa yang nyuruh?” Lagi-lagi wajah itu terlihat dingin saat bertanya.

“Mecca tadi telpon. Entah yang nyuruh dia siapa. Kebetulan Mbak Farzana datang, mau bahas jadwal kajian rutin. Biasanya Ummah yang isi, tapi sekarang kan Ummah cuti. Jadi ya udah aku titip Umi sebentar. Tadi itu Umi sempat telpon katanya minta kelapa muda. Ya udah aku mampir dulu. Pas itu Mbak Farzana bilang kalau dia ada urusan, dia chat aku katanya Umi tidur, terus dia tinggal. Eh, pas aku sampai Umi aku bangunin nggak bangun-bangun. Aku panik terus telpon Bang Usman.”

Medina bercerita sambil berderai air mata, Khawla merangkulnya dan mencoba menenangkan.

“Mas sudah bilang, jangan tinggalin Umi! Mas nyuruh kamu karena mas percaya sama kamu Medina! Mas tahu diantara saudara-saudara kandungmu, kamu dan Malika adalah yang paling jujur dan peduli dengan Umi."
Khawla reflek memegang lengan Syam.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang