Part 35. Rumit

329 71 28
                                    

Langit Malang hari ini sedikit mendung. Seharian tadi gerimis sempat mengguyur sendu, menepis mentari agar tak datang. Pemuda itu merapalkan ayat-ayat dalam kitab pedoman hidupnya satu persatu. Matanya terus menatap langit, seolah bacaan ayat yang dilantunkannya tertulis di sana.

"Om, Om ngapain? Om ngaji? Kok nggak bawa iqro'?"

Pertanyaan itu membuat Elhaq mempercepat bacaannya, sebelum menyudahi murajaah sore itu.

"Zul, sekarang iqro' berapa?"

"Empat," jawabnya cepat sembari memamerkan empat jarinya.

"Zul berarti sudah bisa baca huruf hijaiyah bersambung?"

Bocah itu mengangguk.

"Belajarnya gimana?"

"Diajarin Bunda sama Mbah Kakung."

Elhaq tersenyum, mencubit pipi gembil dan hidung mancung Zul bergantian.

"Kalau Om Elhaq tanya, alif ba' ta, Zul hapal?"

"Lagi-lagi bocah itu mengangguk. Hapal dong Om, kalau Zul nggak hapal, nggak bisa baca iqro' nya."

"Pinter. Om juga gitu, dulu Om hapalin huruf, lama-lama bisa selesai iqro', bisa baca Al Qur'an. Nah, setelah itu, Om hapalkan semua yang ada dalam Al Qur'an."

Mata bocah itu membulat sempurna.

"Semuanya? Kayak Ayah ya? Kata Bunda, Ayahku itu juga hapal Al Qur'an."

"Masyaallah, Ayahmu hebat ya. Ayah jarang pulang ya? Sejak Om di sini, Om belum pernah lihat Ayahmu."

"Kata Bunda, Ayah di sana. Ayah dijaga Allah. Zul nggak bisa lihat Ayah, tapi Ayah bisa lihat Zul."

"Innalillahi," lirih Elhaq.

Mata pemuda itu berkaca-kaca mendapati kenyataan jika Zul belum pernah berjumpa ayahnya. Dia tak pernah bisa membayangkan, apa jadinya dirinya tanpa sosok sang ayah, yang meski jauh, tak pernah lupa menanyakan kabarnya meski lewat pesan suara.

"Zul, mau jalan-jalan sama Om? Kita beli es krim yuk?"

Bocah itu terlihat berpikir. "Zul mau, tapi Zul bilang Bunda sama Mbah Kung dulu ya. Boleh maem es krim enggak."

Elhaq mengangguk, sembari menunggu di dekat gerbang rumah kos yang dihuni lima belas orang itu.

"Si janda itu, katanya sekarang sakit ginjal. Kena azab dia, sukanya nyervis anak-anak kos di tempat bapaknya."

"Eh Bu, jangan gitu dong. Nggak enak kalau kedengeran. Lagian belum tentu itu bener."

"Kalau sakitnya sih bener, dia kan memang dari dulu sakit ginjal. Pernah mau didonor sama ibunya, tapi ternyata ibunya sakit terus meninggal."

Kasak-kusuk itu didengar Elhaq, di saat Zul berlari dan menggandeng tangannya.

"Om, kata Mbah Kung boleh. Tapi pakai uang ini," ujar Zul sembari memamerkan uang sepuluh ribu rupiah.

"Heh, tuh anak janda lagi nggaet anak kos lagi."

Suara itu terdengar cukup nyaring.

"Assalamu alaikum, Budhe!" sapa Zul dengan riang.

Para wanita yang sedang bergosip di depan warung itu seketika menampilkan senyum dan membalas sapaan Zul. Si bocah kecil tidak mengerti jika senyum itu adalah senyum penuh kemunafikan.

"Om, janda itu apa? Kenapa mereka selalu bilang Bunda janda?"

Deg!

Rasa nyeri menyerang dada Elhaq. Dia seolah dejavu. Belasan tahun lalu, setiap kali dia pergi bersama sang ibu ke pasar, dia akan mendengar selentingan orang-orang mengenai ibunya.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang