Part 54.

200 24 4
                                    

"Bro! Mbak Khawla dibawa kabur orang!"

Ucapan Yusuf membuat Elhaq kehilangan akal sehatnya. Segera ia mengambil kunci mobilnya dan bersiap pergi.

"Le, Haq. Sini, ada tamu. Abah sama uminya Nafisa."

"Umi, maaf, Elhaq harus ke Solo."

Umi Khadijah menjalankan kursi rodanya. "Kenapa? Sini dulu. Sini to."

"Umi ini darurat. Elhaq harus pergi." Suara Elhaq sedikit meninggi. 

"Muhammad Zaidan Elhaq! Siapa yang mengajarimu berbicara seperti itu pada Umimu?"

Sang ayah ikut bernada tinggi.

"Abah... Umi... maaf. Elhaq harus segera pergi. Ini penting. Ini tentang Khawla."

"Le, Khawla itu belum menjadi siapa-siapamu. Kalian hanya berteman. Lebih penting Nafisa, calon istrimu."

Elhaq berusaha menahan diri untuk tidak kehilangan kendali dalam bicaranya.

"Umi, maaf. Elhaq tidak mencintai Nafisa. Elhaq hanya mencintai Khawla. Hanya Khawla."

"Le... Nafisa itu sekufu denganmu. Dia sangat pantas kamu nikahi. Dia sangat cocok denganmu. Sedang Khawla? Orangtuanya saja meragukanmu."

"Umi, Pak Arfan sudah memberikan ijin pada Elhaq dan Khawla untuk menikah. Mas Syam, Mbak Ifah, Ummah sudah tahu. Dan Elhaq akan segera memgkhitbahnya secara resmi."

Khadijah mendongak menatap putra tirinya itu. "Le... Umi mohon. Cobalah dulu taaruf dengan Nafisa. Dia adalah jodoh yang tepat buat kamu."

"Kenapa Umi? Kenapa? Karena dia putri kyai juga? Karena dia Ning juga? Sementara Khawla tidak? Jadi Khawla tidak pantas menikah dengan Elhaq? Begitu? Lalu... bagaimana dengan Umi sendiri? Umi dan Abah juga tidak sekufu. Umi dan Abah juga tidak sama. Lalu kenapa Umi dan Abah menikah?"

Khadijah terkejut putranya yang tak pernah membantah itu bisa membalikkan kata.

"Elhaq! Jaga bicaramu!" Sulaiman mengingatkan.

Zahro yang tadinya diam saja kini mendekati sang putra, mengelus punggung putra kandungnya itu.

"Istigfar Le... istigfar."

Khadijah tergugu dalam tangis.

"Umi melakukan ini karena umi tahu rasanya menjadi Khawla. Umi tahu seberapa beratnya mengimbangi abahmu! Bagaimana beratnya Umi dibayangi harus merelakan abahmu membagi cinta demi menyokong keberlangsungan pesantren ini. Umi sadar, umi tidak akan bisa menjadi pendamping seperti Ammahmu yang ahli hadist, Umi tak bisa seperti Ummahmu yang hafidzoh sejak belia, Umi tak secantik Ammihmu, Umi hanya wanita cacat yang tidak bisa dibanggakan. Dan itu berat Le! Umi sayang Khawla dan Umi tidak mau dia terluka hanya karena harus menikah dengan orang yang tidak setara nasabnya!"

Untuk pertama kalinya Khadijah mengeluarkan seluruh perasaannya. Selama tiga puluh delapan tahun, ia dan Sulaiman berumah tangga, selama itu pula ia memendam semuanya.

"Khadijah." Sulaiman tak kuasa melanjutkan kalimatnya.

"Sekarang semua terserah kamu Haq. Umi hanya mengatakan apa yang Umi rasakan. Kalau kamu yakin Khawla bisa menanggung segala beban itu, silakan lanjutkan keinginanmu."

Khadijah menjalankan kursi rodanya, masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu rapat.

"Khadijah! Khadijah!"

Sulaiman mencoba membujuk sang istri agar mengijinkannya masuk. Namun, nihil hasilnya.

Zahroh kini menangis tersedu. Seperti itukah ternyata perasaan madunya. Madu yang ia kira sudah sangat ikhlas berbagi suami dengannya, tetapi ternyata menyimpan kesakitan yang luar biasa.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang