Part 28. Kecemburuan Ummah

462 72 55
                                    

Wanita bertubuh mungil itu meringkuk di atas ranjangnya dengan bahu naik turun karena terisak. Pria yang baru saja masuk ke dalam kamar si wanita menutup pintu dan menguncinya rapat. Perlahan di dekatinya tubuh yang tengah terisak itu. Sang pria menaiki ranjang berukuran 200x180 cm itu kemudian merengkuh tubuh di sana, membaliknya dengan lembut agar sang wanita menghadapnya. Tak ada kata apapun terucap. Bibirnya menempel di puncak kepala yang masih tertutup hijab syar i berwarna abu. Sebelah tangannya mengusap punggung yang masih bergerak-gerak seiring isak itu.


Zahroh, selalu lemah dengan sentuhan sang suami. Pria yang sudah puluh tiga tahun ini menjadi suaminya. Pria yang selalu membuat akal dan logikanya seolah tak bisa dipakai setiap kali mereka bertatap.

“Aku gagal mendidik Elhaq, Bah,” ucap Zahroh pada akhirnya.

Senyum terkembang di wajah si pria.

“Siapa yang bilang?”

“Elhaq berani keluar batas dengan akhwat."

“Heh, siapa yang bilang? Bungaku, Ainnur Zahroh, putra kita Zaidan Elhaq itu sudah dewasa. Wajar dia kenal dengan lawan jenis.”

“Abah, tapi bukan seperti itu harusnya. Lagi pula kita sudah sepakat untuk mengenalkan dia dengan putri Ustadz Salman, yang asal-usulnya jelas dari lingkungan pesantren.”

Wajah Zahroh terlihat kesal. Sulaiman menaikkan dagu istrinya, membuat manik mereka bertatapan lekat. Satu sentuhan bibir Sulaiman mendapat di pucuk hidung mancung yang menurun pada Elhaq itu.

“Bungaku Sayang. Memangnya akhwat tadi asal-usulnya tidak jelas?”

“Dia bukan santri.”

“Kalau bukan santri lalu kenapa?”

“Bagaimana dia bisa mengurus cucu-cucu kita nanti? Bagaimana dia bisa menjadi madrasah yang baik untuk anak-anaknya nanti?”

Sulaiman tersenyum. “Mas boleh bicara? Tapi janji jangan potong dulu sebelum Mas selesai?”

Zahroh mengangguk kecil. Sulaiman kembali mendekap wanita itu, membiarkan wajah sang wanita menempel di dadanya. Bagi Zahroh, tempat ini adalah tempat ternyaman yang pernah disinggahinya, dekapan sang suami. Dada bidang itu, begitu nyaman dan hangat. Iringan degup jantung yang jelas terdengar, seolah berdetak hanya untuknya. Di saat itu, dia merasa menjadi istri yang seutuhnya. Tak ingat akan madu-madunya yang sudah lama tak pernah dijamah suami mereka. Zahroh merasa sangat istimewa jika sudah begini.

“Dengar. Kamu tahu siapa orang tua Khadijah sebenarnya? Bagaimana asal usulnya? Mengapa Marwah dan Siti selalu mengatakan jika Khadijah tak pantas bersanding denganku? Coba jawab?”

Zahroh sedikit mengangkat kepalanya sebelum menggeleng.

“Umi ndak pernah mau cerita soal itu, Mas."

“Dia berasal dari kalangan biasa. Dia baru berjilbab setelah kami menikah.”

“Jadi, apa yang dibilang Ammah dan Ammih benar?”

Sulaiman mengangguk. “Benar. Dari keempat istriku, hanya Khadijah yang berbekal ilmu agama sedikit saja. Namun, akhlaknya? Ilmunya sekarang? Ketaatannya? Keikhlasannya? Siapa yang bisa menandingi?”

Zahroh menggigit bibir. Sosok Khadijah adalah panutannya, idolanya, seorang yang sangat ingin ditirunya. Dia tidak mengira jika wanita itu bukan dari kalangan santri.

“Lubna sepertinya anak baik. Buktinya dia mau mendonorkan darahnya pada Marwah.”

“Bisa saja karena dia ingin ambil hati Nak Umar biar dapat nilai bagus.”

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang