Part 42. Sesal

480 86 92
                                    


 

Paket barang dan buku yang dikirimkan Fitri dari Jogja, masih menumpuk di pojok kamar. Khawla, menatap cermin di meja rias yang memantulkan bayangan gadis menyedihkan di sana.

Gadis itu mendadak berteriak histeris dan melempar ponsel ke cermin. Ia benci dan malu melihat dirinya sendiri.

“Lala, Mas kembalikan kamu ke Elhaq. Mas pikir kamu tidak seperti yang dituduhkan oleh adik-adik Mas. Kedekatanmu dengan Elhaq Mas pikir hanya seperti teman biasa saja. Tapi, kalian punya hubungan yang lebih. Jujur Mas kecewa. Kenapa kamu tidak jujur dari awal? Hm? Pantas kamu nggak mau aku nikahi secepatnya kemarin.”

Suara Syam di ujung telpon masih terngiang-ngiang.

Mas kembalikan kamu ke Elhaq. Terima kasih atas torehan ceritanya beberapa bulan ini.”

Khawla tak diberi kesempatan menjelaskan apapun.

Kenapa orang-orang itu bisa seenaknya memutuskan sesuatu? Melempar perasaan ke sana ke mari?

Pintu kamar Khawla terbuka tiba-tiba. “Astagfirullah, Nduk. Kamu ini kenapa?”

Bentakan sang ayah membuat Khawla terkejut. Namun, tatapannya tetap kosong.

“Nggak ada gunanya kamu marah. Percuma. Ini akibat dari kamu nggak nurut kata-kata Bapak.”

Pria itu menatap putrinya yang seperti mayat hidup. Luka jahitan di perutnya belum kering, sudah basah wajahnya karena air mata. Putri sulungnya yang tak pernah menangis meski sedang sehancur apapun, kini meluruhkan air mata karena disakiti oleh dua pria sekaligus.

Mata Khawla kosong. Kalimat-kalimat penuh kemarahan sang ayah sudah ia dengar beberapa hari ini semenjak ia pulang ke rumah pasca perawatan intensif.

“Kalau mereka bertanggung jawab. Kalau benar mereka peduli denganmu, mereka pasti datang ke sini, setidaknya untuk minta maaf atau menunjukkan keseriusannya denganmu. Tapi.. mana? Nggak ada.”

Lagi, Khawla tak mengubah ekspresinya. Jika ia bisa menyudahi hidupnya, ia akan melakukannya saat ini juga. Namun, ia takt ahu bagaimana cara menyudahi semua ini.

Pria itu akhirnya melangkah, mendekati sang putri dan merengkuh tubuh rapuh milik Khawla.

“Demi apapun, bapak ndak ikhlas kamu menangis karena perlakuan orang lain. Bapak membesarkanmu dengan penuh kehati-hatian. Bapak berusaha melindungimu tapi… dengan mudahnya orang-orang tak bertanggung jawab itu membuatmu menangis. Nduk, bapak ndak ikhlas. Bapak jauh lebih sakit dari kamu.”

Ucapan dan dekapan sang ayah membuat Khawla bereaksi. Ia merangkul ayahnya.

“Bapak… Khawla minta maaf. Khawla sudah melanggar aturan. Khawla salah.”

Beberapa menit, ayah dan anak itu menghabiskan waktu bersama dalam tangis mereka.

“Wis… wis… ayo wudhu, salat. Bertaubatlah. Kembali ke jalan Allah. Kemaksiatan, kejahatan, larangan Allah yang dilanggar itu akan tetap buruk hasilnya meski yang melakukan adalah orang alim sekalipun. Jangan berpikiran kalau mereka dari kalangan beragama, maksiat mereka diberi kelonggaran oleh Allah. Tidak! Tidak Nduk. Justru… dampaknya akan semakin nyata. Bukan hanya hukum akhirat yang berbicara, di dunia pun akan  terasa balasannya.”

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang