Part 26. Terciduk

504 77 44
                                    



“Assalamu alaikum."

“Wa alaikumussalam, eh Mbak Lubna.”

Wanita itu terlihat lebih segar sekarang. Seorang gadis berkacamata duduk di sebelah wanita paruh baya itu, mempersilakan Khawla masuk dengan senyum ramah.

“Dina, ini Lubna yang nolong Ammah semalam. Stok PMI habis katanya karena kemarin ada kecelakaan terus banyak korban yang butuh darah. Alhamdulillah, Umar share ke mahasiswanyam ada yang mau bantu.”

“Mbak, terima kasih ya,” ucap anak si ibu.

“Sama-sama Mbak. Saya mau mengembalikan payungnya Bu Malika, tadi malam saya pinjam.”

Khawla menyerahkan payung dan oleh-olehnya. Dia sengaja memilih jus jambu, karena kata sang ibu, jus jambu bisa membantu bagi mereka yang sedang membutuhkan banyak nutrisi akibat kekurangan darah.

“Jadi, Mbak Lubna mahasiswanya Mas Umar?”

Khawla mengangguki pertanyaan wanita bernama Medina itu. Obrolan terjalin setelahnya.

“Ammah ngajakin Nak Lubna ini untuk mondok di tempat kita. Katanya dia tertarik pengen nyantri. Kan bisa jadi pengasuh santri putri. Bisa bantu bimbing belajar juga, ‘kan?”

“Pas banget Ammah, Medina juga lagi cari volunteer untuk acara milad pesantren bulan depan. Mbak Lubna mau?”

Khawla bukan tipe orang yang bisa menolak permintaan orang lain, sehingga kepalanya langsung bergerak naik turun.

“Kami juga baru merintis radio, Mbak. Kali aja Mbak Lubna mau,” tawar Medina.

“Din, kamu itu lo selalu deh, memanfaatkan orang sampai ke sumsumnya,” seloroh sang ibu.

Medina terkekeh, Khawla ikut tersenyum. Jujur saja dia sebenarnya ingin segera berpamitan, tetapi ibu mertua dosennya itu terus mengajaknya bicara.

“Mbak mau denger dong suaranya pas ngaji, kali aja bisa jadi kandidat pengisi podcast,” celetuk Medina.

Lagi dan lagi Khawla hanya menurut. Bukankah sedikit pencitraan di depan keluarga dosennya bisa membantu menaikkan harga diri? Gadis itu memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin, Dia melantunkan beberapa ayat yang ditunjuk oleh Medina. Pintu ruang rawat terbuka, tiga sosok manusia masuk.

“Masyaallah, siapa ini? Santri?”

Suara serak namun berwibawa terdengar, membuat Khawla menyudahi bacaannya.

“Ini Lubna Khawla, mahasiswi saya, Bah. Semalam, Lubna yang mendonorkan darahnya untuk Ammah.”

Khawla mengulurkan tangan untuk mencium tangan wanita yang bersama pria tadi.

“Assalamu alaikum,” ucap wanita itu pada Khawla.

Khawla berdiri di sampingnya dan mempersilakan pria paruh baya tadi duduk di kursi.

“Mbak Marwah, gimana kondisinya?” tanya wanita berkhimar hitam itu lembut.

“Alhamdulillah.”

Khawla merasa sedikit kikuk karena kedatangan tamu-tamu itu, akhirnya mempunyai kesempatan untuk berpamitan.

“Mbak Lubna minta nomornya ya,” ucap Medina.

Khawla menyebutkan nomornya, kemudian berpamitan dan menciumi tangan satu persatu orang di sana.

“Yok, saya antar,” tawar Umar.

“Tidak usah, Pak, terima kasih.”

“Dijemput pacar ya?”

“Wah, nggak boleh pacaran Pak. Saya singelillah, mainnya nggak pacaran, tapi melangitkan,” seloroh Khawla.

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang