Part 13. Cinta = Khat

243 25 3
                                    

🌅🌅

"Cinta itu sama dengan khat (kaligrafi arab). Semakin rumit, semakin bertumpuk-tumpuk, semakin indah.”
🌅🌅🌅 

Sosok pemuda berpeci sedari tadi duduk di meja kerjanya, menatap kertas di meja dengan kuas di tangan. Tak ada pergerakan apapun kecuali hela dan hembus nafas. Matanya pun tak berkedip.

“Allahuma sholli ‘ala sayyidina Muhammad!” seru Ustadz Kafaby sembari memegang dahi si pemuda yang kini terkejut itu.

“Allahuma sholli wa salim ‘alaih,” sahut Elhaq.

“Alhamdulillah, masih sadar,” ucap sang Ustadz.

“Ya Allah, Tadz. Saya pikir siapa. Bikin kaget.”

“Loh, untung yang datang saya. Kalau yang datang malaikat Izroil, kamu mau apa? Ngelamun dari tadi diteriakin salam nggak jawab.”

Elhaq menyadari jika dirinya sedang tidak fokus dan segera minta maaf pada Ustadz Kafaby.

“Seindah apa kertas ini sampai kamu terpana melihatnya?”

Kafaby melihat-lihat tumpukan kertas karton putih yang ditulisi oleh Elhaq. Pemuda itu memang terkenal dengan kemampuan menulis kaligrafi yang diatas rata-rata. Tidak hanya di kertas, Elhaq juga sudah membuktikan kepiawaiannya menulis kaligrafi di kaca dan keramik. Seluruh ornamen kaligrafi di masjid serta ruang-ruang di pesantren ini juga dikerjakan oleh Elhaq.

Dibalik sikapnya yang selalu selengekan, dia menuruni kelihaian sang ayah dalam merangkai huruf menjadi sebuah karya seni yang bernilai jual tinggi. Bahkan, sang kakak, Syam tidak bisa menandingi kehebatan Elhaq dalam bidang seni.

“Ini sudah selesai, Tadz. Nanti tinggal dibingkai. Saya selesaikan semua soalnya besok saya mau pulang.”

“Pulang?” Kafaby mengalihkan pandangannya pada santri kesayangannya itu.

“Nggih, besok saya mau ikut pulang ke Jogja. Saya sudah lama nggak pulang. Mau gantian sama Mas Syam jagain umi.”

Kafaby tersenyum. “Dapat hidayah dari mana kamu? Alhamdulillah, berkali-kali Syam bujuk kamu biar mau pulang ke Jogja. Akhirnya kamu luluh juga.”

Elhaq tersenyum tipis. Dia memang lebih senang menghindari konflik keluarga yang bisa saja kembali meledak jika dia dan Syam pulang bersama-sama. Dua ibu tirinya pasti akan menyambut mereka dengan senyum manis dan kejutan yang membuat keduanya tak betah lama-lama di rumah mereka.

Getar ponsel yang beradu dengan meja kayu di depannya cukup mengusik dua pria yang sedang berbincang. Elhaq melirik sekilas nama di sana. Akan aneh jika dia tidak mengangkat telepon itu karena Kafaby pasti akan menanyainya kenapa tidak mengangkat. Namun, di sisi lain akan bahaya juga jika Kafaby tahu siapa yang menelpon Elhaq.

“Assalamualaikum, Umi. Gimana kondisinya?”

“Umi? Uminya siapa?”

“Uminya anak-anak dong. Eh, hehe. Gimana kondisinya? Tadi teleponnya mati. Ada apa?”

Kafaby melirik pemuda itu sebelum kembali mengecek pekerjaan Elhaq.

“Iya, Mas. Maaf  ya, aku tadi bilang kalau ... Mas pacarku yang baru.”

“Nggak apa-apa, aku ngerti kok. Tapi kondisi Umi baik, ‘kan?”

“Idih, Mas kenapa manggil Umi sih? Apa jangan-jangan Mas lagi nggak free ya?”

“Iya. Masih kerja, nyelesaiin kaligrafi buat taman baca Quran Ummah Hana. Ini sama Ustadz Kafaby di sini.”

“Ups. Maaf-maaf. Aku tutup deh kalau gitu, nanti malam kalau free bilang ya. Ada yang mau aku omongin.”

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang