Part 22.

422 78 67
                                    

Suasana di rumah sakit terlihat sangat ramai. Dari lorong ruang tunggu di depan kamar operasi, Elhaq menatap ke arah utara.

“Haq, ngapain dari tadi disitu?”

Kyai Sulaiman menyenggol bahu sang putra yang sedari tadi berdiri di dekat jendela sembari menatap ke luar.

“Liat pemandangan, Bah.”

“Liat pemandangan kok, sampai segitunya nggak bosen-bosen.”

Faimah yang duduk di sebelah Zahroh tergoda untuk menimpali.

“Lagi liatin UGM, Bah. Ada bidadari surga di sana,” celetuk Fatimah.

Tidak hanya Kyai Sulaiman tetapi juga Zahroh yang kemudian menatap Elhaq dengan tatapa menyelidik.

“Oh ya? Pacarmu Haq?” tanya sang Kyai, membuat putranya salah tingkah.

“Abah ini loh, pacar-pacar. Kan Elhaq sudah bilang kalau Elhaq singelillah. Mbak Tim aja yang lebay.”

Fatimah terkikik melihat adiknya salah tingkah.

“Lulusan Nurul Ilmi juga?” tanya Zahroh kemudian, membuat Elhaq semakin tersudut.

Dia tidak bisa mengelak jika sudah berhadapan dnegan sang ibu.

“Memangnya kalau bukan lulusan pondok, apa akhwat itu tidak baik, Ummah?”

“Sudahi saja kalau begitu. Wanita itu madrasah pertama dari anaknya. Kalau istrimu nanti bukan dari kalangan pesantren, bagaimana nasib anak-anakmu? Kamu sudah dewasa, Le. Harusnya kamu paham itu, jangan turuti nafsumu.”

Perkataan sang ibu membuat Elhaq membeku. Baru saja dia mau berjuang, tetapi sang ibu langsung menentang.

“Le, kamu tahu, cinta itu hal wajar yang tumbuh dalam hati manusia.”

Elhaq menghembus napas sembari menatap sang ayah.

“Tapi dia bukan dari kalangan pesantren, Bah. Dia ... dulu pengen jadi santri hanya saja orang tuanya nggak cukup berada. Adiknya sekarang yang jadi santri, dia santri asuh Elhaq di pondok. Dulu, kami nggak sengaja ketemu di pesantren. Sekarang kami berusaha saling melangitkan nama. Dia kuliah di sana, Bah. Mas Syam, juga kenal. Mas Syam juga kagum sama Khawla. Sekalipun bukan santri, akhlak dan bacaan Qur’annya bagus. Menurut cerita adiknya, dia ngajar ngaji di komplek tempat tinggalnya.”

Kyai Sulaiman terkekeh.

“Kamu tahu, perasaan seperti itu kadang memang terasa indah tapi terkadang menyakitkan. Kamu ingat, dulu waktu kecil kamu sering tanya sama Abah. Kalau kayu yang kita ukir khat, kira-kira merasakan sakit atau tidak ya? Sekarang kamu sudah dewasa. Kamu bisa jawab? Andai kamu jadi kayu, keramik, atau kaca, tempat dipahatnya sebuah kaligrafi, kira-kira sakit tidak?”

Elhaq terlihat berpikir.

“Pasti sakit Bah. Badannya kan diukir pakai tatah, pakai bor, pakai pisau.”

“Tapi, setelah melihat hasil akhirnya? Bandingkan dengan papan kayu, keramik, kaca yang polos dan tidak tersentuh goresan khat. Kira-kira lebih cantik yang mana? Lebih indah yang mana?”

LEMBAYUNG SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang