11 - IKHLAS

229 67 312
                                    

SELAMAT DATANG DI CHAPTER 11

JAM BERAPA KALIAN BACA BAB INI?

SEBUTKAN SATU NAMA YANG KALIAN RINDUKAN DENGAN MENYEBUTKAN MAKANAN KESUKAANNYA 👉

VOTE DULU DAN SPAM KOMENTAR TIAP PARAGRAF JANGAN LUPA!

•••

Baca perlahan, dan resapi setiap kalimat yang ada.

Banyakin berdoa supaya kuat!

Banyakin berdoa supaya kuat!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

11 - IKHLAS

[Ikhlas bukan berarti melepaskan sesuatu dengan air mata, tetapi bisa merelakan sesuatu dengan senyuman.]

***

Rara berjalan dengan tenang, sambil menenteng tas kresek berwarna hitam berisi beberapa makanan. Selangkah demi selangkah menuju kembali ke ruangan Damar dirawat. Bahkan ia masih ingat di mana Damar dirawat, masih tersisa coretan tinta di tangannya yang tertulis ruangan itu berada.

"Semoga saja, Damar suka sama bubur ini. Dulu kalau datang ke rumah, Ibu selalu buatin khusus buat dia," ucap Rara dengan intonasi sangat rendah.

Sesampai di depan pintu ruangan Damar di rawat, Rara dengan semangat membuka pintu itu. Berharap kondisi sahabatnya yang satu ini menjadi lebih baik dari sebelum ia pergi meninggalkannya.

Namun sepertinya takdir berkata lain, tubuh Damar semakin terlihat parah. Masih dalam posisi bersandar di bawah, dengan hidung dan seragam putihnya berlumuran darah.

Matanya terpejam erat, masih terlihat sisa air mata di sana. Wajahnya sangat pucat, teramat pucat dari sebelumnya. Rambutnya sangat berantakan, dan seragam yang ia kenakan sudah sangat lusuh.

Melihat kondisi yang demikian, refleks Rara langsung berlari mendekat. Mencoba untuk menyadarkan Damar, barangkali masih ada yang bisa membuatnya terbangun.

"Dam, lo kenapa lagi. Siapa yang tega bikin lo kayak gini, hah?" lirih Rara sangat khawatir.

"Gue harus panggil dokter, lo harus bertahan!"

Hampir saja Rara melangkah pergi untuk memanggil Dokter, dengan cepat tangan Kiri Damar bergerak dan menghalau langkah Rara lebih dulu. Mustahil rasanya, tapi inilah yang terjadi.

Damar mengerang kesakitan namun tak begitu terdengar. "Gue gapapa, Ra! Sementara ini, gue cuma butuh lo!"

"Gue? Lo butuh dokter, Dam! Gue gabisa nyembuhin lo! Gue bukan anak PMR!"

Masih dalam mata terpejam, Damar tersenyum sedikit. "Hm, bukan anak PMR, bukan berarti gabisa bikin gue sembuh, kan?"

"Ish, malah bercanda ni anak!"

TENTANG DAMARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang