Takut berharap

227 46 1
                                    

"Berulang dilarang, tak bosan juga diulang"

Author Pov

"Duduk aja bun" Hujan mempersilahkan sang Bunda duduk di sisi ranjang miliknya.

Tatapan Syela agak berbeda kali ini, wanita paruh baya itu agak sayu.

"Ada apa bun?" Tanya gadis itu ikut terenyuh. Bukan tampang serius yang Ia dapatkan, namun wanita yang Ia panggil Bunda ini punya mata yang sedang berkaca-kaca.

"Tadi..Bi Siti titip maaf katanya" Ucap Syela lembuh kearah Hujan.

"Kenapa bun?"

"Dia minta maaf buat kamu nangis,"

"Hujan gapapa bun, nanti Hujan bilang sama Bibi ya" Sahut gadis itu, dia tak suka pembahasan ini, namun entah kenapa dadanya sesak kali ini.

"Sini sayang" Ucap Syela lembut menepuk sisi ranjang di sebelahnya, menyuruh sang putri duduk di sampingnya.

Hujan mengangguk, Ia beranjak dan duduk di samping sang Bunda. Air mata hampir lolos dari matanya, memori yang berputar hampir seluruhnya menusuk dada Hujan.

"Bi Siti lebih tau kamu ya sayang. Bahkan bunda gak pernah minta maaf untuk segala keegoisan bunda" Suara Syela bergetar, tangannya tergerak mengusap rambut gadis kecil yang sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang ceria dan cantik.

Syela bukan berniat membedakan mereka sesungguhnya. Ia menyayangi kedua putrinya, namun dengan cara yang berbeda. Tanpa Ia tau itu melukai buah hati pertamanya. Namun semua sudah terlambat, Ia tak mungkin melimpahkan kepada putri keduanya untuk kembali ke Luar Negri.

Terlebih Bisma memang sangat menyayangi Biru. Paras, sifat serta hobi yang hampir sama membuat Bisma lebih menaruh banyak perhatian pada anak keduanya. Sehingga Syela tak pernah bisa berbicara diluar kehendak suaminya.

Tangannya bergerak menggenggam tangan remaja cantik di sampingnya.

"Hujan tau alasan bunda selalu mementingkan Xabiru daripada kamu?" Tanya Syela pelan.

Gadis itu menggeleng.

"Karena bunda tau kamu bisa kuat tanpa kami, bunda tau kamu bisa tumbuh menjadi gadis cantik, positif dan baik tanpa perhatian lebih dari kami."

"Sepandai-pandainya seorang anak bertumbuh sendirian, dia tetap butuh sosok orang tuanya, bunda.." Ucapan Hujan tepat menusuk kepada sang Bunda.

"Bunda janji-"

"No. Cukup jalani apa yang sudah terjadi dan biarkan itu usai dengan sendirinya." Setelahnha Hujan menunduk, air matanya berhasil lolos hingga membasahi baju tidurnya. Ia takut diberi harapan lagi, takut berfikir bahwa esok dunia akan lebih baik kepadanya.

"Langit gelap bunda, Hujan mau istirahat" Lirih gadis itu.

Syela menghela nafas panjang, lalu mengangguk kecil setelahnya.

"Yasudah, selamat malam sayang."

Syela beranjak menuju pintu, menatap gadisnya sebelum pergi keluar dan akhirnya pintu itu benar-benar tertutup rapat. Meninggalkan gadis dengan piyama birunya sendirian lagi.

***

"Non Hujan, itu kok ada aden ganteng di depan? Beda sama yang kemarin tapi.. pacar barunya ya?" Bi Siti menghampiri Hujan yang sedang sibuk mencari kotak pensilnya yang nyelip entah kemana. Ia juga sudah sempat berbicara dengan Bi Siti pagi tadi tentang kejadian kemarin sore.

"Hah?" Hujan terkejut dengan perkataan sang Bibi. Pikirannya langsung menuju kepada Nuel. Apakah pria itu benar-benar nekat datang ke rumahnya?.

"Makasih Bi," Dengan cepat Ia menyampirkan tas ke pundaknya serta sebuah sweater ditangannya, membiarkan kotak pensil yang tetap menyelip.

Hujan keluar dari kamarnya, berjalan menuruni tiap anak tangga di rumahnya. Matanya langsung terkunci dengan seorang pria yang sedang mengobrol dengan gadis yang hampir sebaya dengannya.

Sial.

"Kak.." Ucap Hujan pelan saat sudah berjalan dekat dengan mereka.

"Eh ka Hujan udah turun, ini pacar lo nungguin. Berangkat gih," Ucapan gadis berambut pendek itu terdengar sangat lembut dan bermakna. Wajahnya berbinar terang, berbeda dengan matanya yang menatap Hujan dengan arti lain.

"Ayo berangkat?" Nuel tersenyum ke arah gadis di depannya. Hujan mengangguk kecil, tangannya menggenggam menahan emosi yang mulai memanas di dirinya.

"Mau kasih atau rebut nih? Ganteng tuh.."

Sebuah kata yang masuk ke telinga Hujan saat melewati Biru menyulut emosinya. Jika tidak ada Nuel, mungkin tangan ini akan mendarat di pipi putihnya.

"Gue berangkat." Hujan tersenyum kearah Biru, mengikuti alur bermainnya. Entah pemikiran setan darimana yang muncul di otaknya. Ia tau ini bertanda Ia mengibarkan bendera perang. Namun lebih baik daripada dianggap lemah terus menerus.

Dan benar saja, Biru agak tergoncang dengan sikap tiba-tiba dari sang kakak. Sepertinya sudah waktunya dia meminta untuk berangkat ke sekolah esok hari. Ini semakin menarik.

***

"Kenapa cantik? Kok murung banget mukanya?" Tanya Nuel dengan nada agak bercanda begitu mobil mereka mulai berjalan meninggalkan gerbang tinggi rumah Hujan.

"Kenapa gak dengerin gue sih?" Nada Hujan agak mendingin.

"Gua cuma mau jemput cewek gua doang" Sahutnya agak bingung. Apa harus marah hanya karena masalah seperti ini?

"Lo gak tau apa-apa kak. So please.." Bantah Hujan tak suka dengan ucapan yang keluar dari bibir Nuel.

"Gue seneng lo jemput, seneng lo perhatian. Tapi please, jangan lewat batas untuk sesuatu yang gue larang."

Entah kenapa mood yang Nuel bangun langsung runtuh. Pria itu tak lagi menjawab, justru menaikan laju mobilnya tanpa mendengarkan larangan Hujan. Ia belum menemukan dititik mana Ia salah, mungkin harus ditonjok dulu.

Want to continue?
Don't forget to follow me, vote and gimme krisar in comment sect♡

🔥: Kalian lebih membenarkan sikap Hujan atau Nuel?

Cast in this chapter

1. Kanaya Hujan

2. Zanuel Evagas

Supporting chara

1. Syela (Bunda Hujan)

2. Bi Siti

3. Kanaya Xabiru




























HUJAN | TAMAT✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang