Dalam usaha menghindari kejaran pasukan pengamanan gedung BATANINDO, Gentong Kayu melewati sekian banyak jalan raya di kota Jakarta. Amarahnya meninggi saat mobil-mobil yang melintas selalu hampir menabrak. Rasa lelah karena terus mengerahkan tenaga dalam untuk berlari dan meloncat di jalan tol yang bertingkat, akhirnya menghentikan langkah Gentong Kayu.
Di tepi jalan raya luar kota yang sepi, ia duduk berjongkok di bawah sebuah pohon. Tubuh basah berkeringat tetapi tidak tahu harus ke mana. Sambil melepas lelah, Gentong mengingat-ingat apa yang menyebabkan dirinya kini berada di sebuah kota yang penuh dengan keanehan.
"Mengapa aku bisa berada di tempat aneh ini? Di mana ini sebenarnya? Ke mana pasukan Kadiri? Ke mana Tapak Bumi?"
Wajah mengernyit mengingat benda-benda besi yang bergerak sendiri. Jalanan yang bertingkat-tingkat. Orang-orang juga berpakaian tidak seperti yang ia kenakan. Gentong Kayu menyerah, tidak menemukan jawaban. Kaki diselonjorkan dan ia pun mulai merasa lapar.
"Aku lelah. Sekarang, ke mana harus kucari makanan? Huuuf!"
Gentong Kayu mengembuskan napas panjang. Ia seperti bertanya pada diri sendiri. Daerah di mana ia berada sekarang, jauh di luar kota. Jalan raya di situ adalah jalan tol tempat lalu-lalang berbagai kendaraan berat. Sepanjang jalan tidak terlihat rumah penduduk. Hanya rumah-rumah makan persinggahan untuk para supir.
Gentong Kayu seperti teringat sesuatu. Ia bergegas bangkit berdiri. Sejenak berdiam, menatap ke suatu tempat. Kedua tangannya terentang, diputarkan ke atas bawah dan dikatupkan di depan dada. Lalu, mata memejam.
Sejenak Gentong Kayu berdiri diam, hanya raut wajah yang berubah-ubah seperti sedang mendengarkan sesuatu. Tidak lama, kedua tangan yang dikatupkan di depan dada itu, kembali direntang. Diangkat ke atas, untuk perlahan turun sambil mengatur napas. Gentong Kayu membuka mata kembali.
"Sepertinya di sekitar sini ada rumah makan."
Gentong Kayu melangkahkan kaki ke arah jalan raya. Tanpa memedulikan sebuah kendaraan yang sedang melaju cepat, Gentong Kayu terus menyeberang. Kendaraan angkut bermuatan gandeng besar yang sedang mengarah padanya itu, membunyikan klakson berulang-ulang.
Tet! Tet! Tet!
Bunyi rem yang mendadak diinjak mengakibatkan ban kendaraan berdecit-decit di aspal jalan. Namun, Gentong Kayu menarik napas cepat dengan kedua tangan yang terkepal. Napas itu ditahan di perut lalu, kepalan tangan ditinjukan ke bagian depan kendaraan yang sedang melaju ke arahnya.
Braaak!
Kap kendaraan itu penyok seperti dihantam sesuatu yang besar. Akibat daya dorong yang kuat saat melaju kencang, muatan di belakang langsung terangkat ke atas. Muatan gandeng yang paling belakang pun terbanting ke pinggir kanan jalan. Kecepatan kendaraan yang melaju itu, berbenturan dengan ajian tenaga dalam Gentong Kayu. Sementara ia hanya terdorong sehingga aspal jalan tergerus oleh jejak kakinya yang menahan tetap berdiri.
Gentong Kayu menyaksikan kendaraan angkut yang ditinjunya itu terbalik bergulingan ke pinggir jalan. Ia mengembuskan napas dengan kedua tangan yang diturunkan di samping pinggang. Kemudian, mengentakkan kaki meloncat jauh untuk meninggalkan tempat itu.
---
Di sebuah rumah makan yang berjarak ratusan meter dari jalan di mana Gentong Kayu menghantamkan tinju ke sebuah kendaraan angkut, orang-orang berhamburan ke luar. Mereka terkejut mendengar suara itu. Sebagian bergegas mendekati untuk mengetahui apa yang terjadi. Sepeninggal orang-orang yang bergegas untuk melihat, Gentong Kayu menjejakkan kaki di tanah di depan rumah makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (Telah Terbit Silakan Pesan)
Historical FictionTapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa --- Di masa lalu, Tapak Bumi hidup di masa akhir Kerajaan Singhasari dan pra-Kerajaan Majapahit. Kematian Prabu Shri Maharajadiraja Kertanagara akibat pemberontakan Jayakatwang sangat menyakitkan hati Dyah...