Pada saat unit khusus yang memasuki rumah melalui jalur bawah tanah, mereka menyerbu sambil menodongkan senjata. Anak buah tuan rumah yang dipanggil dengan sebutan Komandan itu, telah berjaga di balik tembok ruangan pertemuan. Menunggu di pintu masuk arah belakang, untuk memberondong unit khusus yang datang. Namun, mereka dikejutkan oleh bunyi ledakan di gerbang depan. Perhatian terpecah dan mengalihkan serangan menghadapi serbuan dari depan. Bergegas pula berjongkok di samping pintu masuk dari arah depan.
Duaaar!
Duaaar!
Duaaar!
Bunyi ledakan yang beruntun itu langsung diikuti dengan tembakan dari pasukan militer dan polisi yang menerobos masuk dari depan. Anak buah sang Komandan yang berada dalam jarak tembak, langsung diberondong. Berjatuhannya para anak buah, menyebabkan mereka yang sedang menunggu unit khusus, berpindah ke depan.
Dor! Dor! Dor!
Dor! Dor! Dor!
Dor! Dor! Dor!
Tidak beruntung, berondongan peluru dari unit khusus yang sudah menerobos masuk dari jalur bawah tanah lebih dahulu mengenai. Mereka bergelimpangan bersimbah darah. Unit khusus pun langsung berlindung di balik tembok untuk bersiap. Ruangan yang dimasuki ternyata gudang di bagian belakang rumah besar sang Komandan.
Sementara sang Komandan yang berlindung di balik tembok ruangan depan depan rumah, bersiap mundur bersama si Kodok dan beberapa orang lain. Mereka melihat Satria Purwaka, Hardiman terpisah di sisi lain rumah. Kedua pimpinan genk itu sedang bergantian membalas tembakan dari pasukan militer dan polisi yang telah masuk dari depan. Namun, satu tembakan mengenai Satria Purwaka. Hardiman yang melindunginya berdiri sebagai tameng hidup menjadi sasaran tembak berikut.
Gentong Kayu melihat Satria Purwaka tergeletak dengan bersimbah darah. Ia marah dan berjalan ke luar dari balik tembok. Kedua tangan diputar menyilang di depan dada sambil menarik napas panjang. Pasukan militer dan polisi yang memberondong, kalah cepat dengan kedua tangan yang dihempaskan ke depan. Sekelebat angin panas menyeruak dan menghantam tubuh mereka.
Braaak!
Dengan mulut yang berlumuran darah, pasukan itu bergelimpangan di lantai. Tubuh mereka seperti hangus terbakar. Pakaian mereka terlihat hangus dengan asap yang mengepul di tubuh. Saat menyadari serangan Gentong Kayu, pasukan militer dan polisi yang lain langsung mengarahkan tembakan. Namun, kembali sang pendekar Kadiri mengempaskan tenaga dalam sehingga mereka tidak sempat menembak.
Braaak!
Lagi pasukan militer dan polisi yang masuk dari depan, terbanting di lantai terkena hempasan tenaga dalam Gentong Kayu. Kini sang pendekar Kadiri telah benar-benar marah. Ia mengarahkan serangan ke berbagai arah tanpa pandang bulu. Sambil terus berjalan memukul mundur pasukan militer dan polisi, ia mengobrak-abrik rumah sang Komandan. Pasukan militer dan polisi yang berlindung di gerbang yang telah diledakkan saat masuk, juga menjadi sasaran.
Duaaar!
Gerbang diruntuhkan bersama pasukan militer dan polisi yang berlindung di baliknya. Gentong Kayu terus melangkah ke luar. Suasana kini berbalik mencekam bagi pasukan Jenderal Sandika Perkasa dan Kepala Kepolisian Negara. Reruntuhan, asap dan debu yang beterbangan menyebabkan mereka menahan tembakan. Namun, suasana mencekam itu yang mendorong Gentong Kayu terus merangsek maju dan mendesak ke luar. Sontak pasukan yang berpindah dari depan reruntuhan gerbang ke balik barikade mobil, mengokang senjata masing-masing.
Braaak!
Di saat yang mencekam itu, tiba-tiba jalan bergetar. Bunyi gemeretak jalan yang diikuti dengan debu yang beterbangan, menutupi tubuh seseorang yang baru mengempaskan kaki. Tampak di sela-sela debu yang mulai turun, kedua kaki orang yang datang itu melesak masuk ke dalam aspal. Jenderal Sandika dan Kepala Kepolisian Negara kesulitan mengenali orang itu karena berdiri membelakangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (Telah Terbit Silakan Pesan)
Historical FictionTapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa --- Di masa lalu, Tapak Bumi hidup di masa akhir Kerajaan Singhasari dan pra-Kerajaan Majapahit. Kematian Prabu Shri Maharajadiraja Kertanagara akibat pemberontakan Jayakatwang sangat menyakitkan hati Dyah...