Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (5)

3.9K 50 12
                                    

"Hei, sejak kapan Singhasari ini jadi lemah? Sejak kapan Singhasari ini kalah dalam pertempuran?"

Sementara di Tumapel, Kṛtānagara mengadakan pertemuan dengan para Kebo dan Lembu. Di antara mereka yang ada di hadapannya, beberapa brahmana juga ikut. Suasana di dalam ruangan tempat di mana ia mengadakan pertemuan, sontak menjadi hening. Orang-orang yang ada di dalam ruangan pun hanya menatap Kertanagara tanpa bersuara.

Kertanagara duduk di sebuah tempat kursi dengan bertopang pada satu lengan di paha. Lalu, ia berdiri. Dikibaskan kainnya dan berjalan mendekati sebuah meja panjang di mana para penguasa kerajaan itu sedang duduk mengelilingi.

"Singhasari masih yang terkuat!"

Tiba-tiba ditepuknya meja itu dengan wajah memerah.

Braaak!

Meja itu pun terbelah di tengah-tengah dengan arah lurus dari ujung ke ujung. Mereka yang hadir dalam pertemuan itu sontak berdiri dari duduk begitu meja rubuh di depannya.

"Aku masih raja yang terkuat di Jawadwipa ini!" teriak Kertanagara lagi.

"Ampun, Prabu Shri Maharaja Kertanagara. Tetap Singhasari yang terkuat. Kami prajurit setia Singhasari, perintahkanlah untuk menaklukkan wilayah lain!"

Kebo Anabrang yang berada di dekat Kertanagara, segera berlutut dengan satu kaki. Kedua tangannya terangkat menghaturkan sembah.

"Ampun Prabu Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wira Asta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa, penguasa Jawa Dwipa yang bertahta di Singhasari!"

Raden Wijaya juga menghaturkan sembah dengan mengulurkan kedua tangan yang ditangkupkan, sambil ikut berlutut dengan satu kaki ke arah Kertanagara. Lalu, menundukkan kepala. Sontak para Kebo dan Lembu di dalam ruangan itu berdiri dan ikut berlutut dengan satu kaki menghadap ke arah Kertanagara.

Kertanagara mengangkat satu tangannya yang terkepal ke udara.

"Kita akan taklukkan Malayu! Siapkan pasukan! Cari pendekar tanpa tanding di seluruh wilayah kerajaanku! Siapkan keberangkatan ke Malayu!"

Kertanagara berteriak dengan wajah yang tegang. Mata melotot memandangi mereka yang berdiri di hadapannya.

"Taklukkan Malayu!" teriak Kebo Anabrang sambil berdiri.

Tangannya juga dikepalkan dan diangkat ke udara. Namun, di antara mereka yang berkumpul itu, ada seorang brahmana yang sejak tadi hanya diam mendengarkan. Rambut putih yang digelung ke atas, membuat wajah bertambah tirus karena kumis dan janggut terurai memanjang. 

"Ampun Shri Maharaja Kertanagara, apa sudah diperhitungkan siapa yang tinggal menjaga Singhasari saat pasukan pergi? Apalagi pasukan yang akan berangkat jumlahnya besar."

Kata-kata sang brahmana yang terdengar serak itu, mengejutkan Kertanagara. Sontak ia menoleh. Sementara para Lembu dan Kebo juga memalingkan kepala ke arah orang yang tadi berbicara.

"Akan ada yang tetap menjaga Singhasari, Mpu Raganatha. Sekarang saya belum putuskan siapa yang akan tinggal tetapi siapa yang akan memimpin dan mendampingi, itu sudah dipikirkan. Kita butuh Malayu untuk persekutuan, untuk tetap mempertahankan kekuasaan wangsa kita di Swarnabhumi sepeninggal Sriwijaya dan untuk persiapan penyerangan Mongol. Jika tidak saya lakukan sekarang, Singhasari akan hilang dari muka bumi karena kalah."

Para Lembu dan Kebo mendengarkan dengan wajah serius kata-kata Kertanagara itu. Begitu selesai bicara, mereka pun mengangguk-anggukkan kepala sambil memandang Mpu Raganatha. Mereka seakan-akan ikut meyakinkan sang brahmana bahwa strategi Kertanagara itu sangat tepat.

Namun, tidak demikian halnya dengan Mpu Raganatha. Wajah tertunduk dengan mata terpejam, satu tangan menahan kening dan tangan yang lain dilipat di dada.

"Semua yang di dunia ini selalu ada sebab dan akibat, Shri Maharaja Kertanagara. Yang membedakan terjadinya satu dengan lain, hanya waktu."

Kertanagara mengernyit mendengar itu. Semangat yang tadi berkobar-kobar, tidak ingin hilang begitu saja. Dipandangi Kebo Anabrang dan Raden Wijaya.

"Hamba dan Ardharaja akan tetap di sini, Prabu Shri Maharaja Kertanagara. Kami akan menjaga Singhasari, hidup dan mati."

Melihat situasi yang tidak baik, Raden Wijaya bergegas bicara. Mendengar itu, Kertanagara pun tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala.


---


"Shri Maharaja Kṛtānagara, ada pawisik yang saya terima dalam persemedian di Gunung Semeru. Pameswara Shri Hyangning Hyang Adhidewalancana yang berkedudukan di Bali membuat kekacauan dan ingin memutus hubungan antara wangsa Shailendra di Bali dengan Wangsa Shailendra di Jawa."

Wira Sangkul Petak berbicara sambil mengangkat tangan memberikan berkat untuk Kertanagara. Sore itu, ia datang menemui tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Jarak yang terbilang sangat jauh, membuat Kertanagara tak menyangka sang Panditha datang mengunjungi. Segera ia mengangkat tangan memberikan hormat. Kedua tangannya diangkat dan ditangkupkan.

"Siapa itu, wahai Mpu Panditha?"

Melihat tangan Wira Sangkul Petak telah diturunkan, Shri Prabu Maharaja Kertanagara pun bertanya. Ia bangkit dari duduk dan memberikan sebuah kursi. Namun, sang Pandhita memilih tetap berdiri, saat Kertanegara menyodorkan untuk duduk. Kertanagara kembali ke tempatnya tadi duduk. Di ruangan di mana Kertanagara biasa menerima orang yang datang, hanya tersedia satu meja panjang dengan beberapa kursi.

"Raja yang sekarang berkuasa di Bali Dwipa," jawab Wira Sangkul Petak.

Kain putih panjang sang brahmana diselempangkan ke bahu. Melihat Wira Sangkul Petak memilih berdiri, Kertanagara bangkit dari duduk dan berjalan ke arahnya. Ia pun ikut berdiri.

"Orang di Selatan Swarnabhumi, di Barat Jawa Dwipa dan Bali Dwipa adalah keturunan Wangsa Shailendra, Mpu. Sudah menjadi kewajiban saya untuk mengumpulkan semua saudara Wangsa Shailendra dalam Kerajaan Singhasari!"

Kertanagara mengepalkan tangan. Wajahnya terlihat berubah serius.

"Apa yang sudah dibangun oleh Mpu Rsi Markandeya dan Mpu Rsi Kuturan di Bali Dwipa harus kita pertahankan. Wangsa Shailendra di Bali Dwipa adalah saudara kita wangsa Shailendra di Jawa Dwipa ini," tegas Kertanagara kemudian.

"Saya ingin membangun persekutuan dengan segenap Wangsa Shailendra yang ada di Jawa Dwipa, Swarnabhumi dan Bali Dwipa."

Ucapan Kertanagara kepada Wira Sangkul Petak itu mengundang persetujuan. Sang Pandhita terlihat senang.

"Semoga terkabul keinginanmu."

Wira Sangkul Petak mengangkat tangan memberi restu.

"Saya ingin memberikan arca Buddha Amoghapasa untuk penghormatan kepada ayah saya Wisnuwardhana yang berstana di Jajaghu, wahai Mpu Pandhita. Sebagai hadiah persekutuan dengan Dharmasraya yang sekarang berkuasa di Swarnabhumi," kata Kertanagara.

"Memang sudah seharusnya membangun persekutuan daripada mengundang peperangan. Tapi kita harus membuat jung besar untuk membawa arca. Ada baiknya dibicarakan dulu dengan para Kebo dan Lembu, Shri Maharaja Kertanagara. Niatmu sungguh baik," saran Wira Sangkul Petak.


---

Bersambung

Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (Telah Terbit Silakan Pesan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang