Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (17)

2.6K 33 5
                                    

"Mari, Kisanak. Mari, saya bantu berdiri."

Dengan terhuyung-huyung, Gentong Kayu berusaha berdiri. Kepala berasa berputar. Namun, mencoba mengenali tempat di mana ia berada. Diperhatikan sekeliling sambil tangan kirinya memegangi kepala.

Di samping, ada seorang asing berpakaian lusuh yang sedang menahan tubuh Gentong Kayu berdiri. Rambut panjang tidak diikat, janggut dan kumis putih berjuntai sampai ke dada. Orang itu kelihatan sudah tua tapi kedua tangannya kekar dan bahu padat berisi.

"Di mana saya sekarang, Ki?"

Gentong Kayu bertanya kepada orang itu dengan tangan kiri memegangi kepala. Ia masih belum bisa mengenali tempat itu.  Wajahnya mengernyit menahan sakit.

"Kisanak ada di Seringsing," jawab orang tua itu.

Ia terus memegangi tubuh Gentong Kayu. Gentong Kayu terkejut mendengar nama tempat yang disebutkan.

"Di mana itu Seringsing, Ki?"

Mata Gentong Kayu bertanya sambil menatap wajah si orang tua. Mencoba mengingat siapa dan di mana pernah bertemu dengan orang tua itu. Bibir mengerucut karena ia tidak mengingat apa pun tentang orang yang sekarang sedang bersamanya di sebuah tempat asing.

"Kisanak ada di kaki Gunung Lawu. Guru Kisanak yang menitipkan ke sini," katanya menjawab.

Wajah Gentong Kayu terperanjat. Saat ingin mengucapkan sesuatu, refleks Gentong Kayu menggerakkan tangan kanan. Seketika wajahnya berubah menjadi gembira karena ternyata tangan kanan itu bisa dikepal dan digerak-gerakkan.

"Tanganku sudah sembuh! Tanganku sudah sembuh!" serunya berulang-ulang.

Diangkat dan diputar-putarkan tangan kanan itu. Lalu, Gentong Kayu mengepalkan telapak tangan dan menggerakkan tangan seakan hendak mengeluarkan suatu ajian tenaga dalam. Betapa senang Gentong Kayu, mengetahui tangan kanannya telah bisa digunakan untuk bertarung lagi.

Tiba-tiba, ia seperti teringat sesuatu. Gentong Kayu diam bergerak dan menoleh ke si orang tua dengan wajah mengernyit.

"Guruku mana, Ki?" tanya Gentong Kayu kemudian.

Perlahan orang itu menuntun Gentong Kayu ke sebuah patahan batang kayu besar. Terlihat wajah Gentong Kayu bingung tetapi ia menurut saja ke mana diarahkan berjalan. Di patahan batang kayu yang rebah ke tanah itu, didudukannya Gentong Kayu. Lalu, duduk di samping Gentong Kayu yang memandang heran.

"Guru Kisanak si Gasing yang menitipkan kau di sini. Setelah itu dia pergi untuk suatu urusan, katanya. Kemudian dia datang lagi ke sini dalam keadaan terluka parah. Aku mencoba menyelamatkan tapi langit ternyata lebih menyukainya. Sebelum mati, Gasing menitipkan pesan kepadaku. Pembunuh guru kau itu adalah seorang perempuan berkain Malayu. Gasing minta kau untuk menuntut balas," kata orang tua itu lalu, terdiam.

Gentong Kayu mengernyit mendengarkan. Rahangnya mengeras. Ia diam mendengarkan dengan bernapas cepat sehingga bahu berguncang-guncang.

"Gasing adalah saudaraku. Gasing juga memintaku untuk menurunkan Ajian Angin Gebrak Empat Arah, Ajian Tapak Bara Besi dan Ajian Pelebur Sukma kepada kau," kata si orang tua kemudian.

Orang tua itu berdiri dan menarik Gentong Kayu untuk iku berdiri juga. Ia memegang tangan kanan Gentong Kayu. Diangkat ke atas dan dilepaskan tiba-tiba. Gentong yang bingung, masih menurut saja.

"Kau sudah sehat."

Sambil berjalan menjauhi Gentong Kayu yang hanya berdiri bingung tidak mengerti, orang tua itu berbicara. Kemudian sampai di suatu jarak di mana ia berdiri memerhatikan Gentong Kayu, sikapnya mendadak berubah. Ia bersiaga.

Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (Telah Terbit Silakan Pesan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang