Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (50)

1K 17 0
                                    

Di pagi bangun tidur, Tapak Bumi merasakan sakit yang luar biasa saat menegakkan tubuh. Ia ingin bersiap melanjutkan lagi menurunkan Ajian Pancasona ke dalam sebuah kitab dari kain yang telah dituliskan sejak beberapa hari lalu. Susah payah sang pendekar Singhasari berusaha menopang tubuh dengan siku karena bahu yang terasa nyeri. Lalu setelah berusaha sekuat tenaga, Tapak Bumi juga merasakan sakit saat akan beranjak turun dari tempat tidur. Susah payah lagi ia mengangkat pinggang karena nyeri di sekujur tulang belakang.

"Aaargh!"

Tidak dapat menahan, Tapak Bumi mengerang sambil memegangi pinggul untuk dapat berdiri di lantai. Dengan kepala yang mendongak dan mata terpejam, ia menahan sakit. Kain panjang penutup tubuh bagian bawah dikencangkan, lalu perlahan ia melangkah menuju wastafel. Cepat-cepat dipegang pinggiran wastafel yang terbuat dari keramik, saat telah berada di depannya. Wajah yang tertunduk, sang pendekar Singhasari menghela napas napas panjang. Rambut yang tergerai ke depan, disapukan ke belakang.

"Sakit sekali semua badan! Apakah berarti mulai hilang semua ajian kedijayaan yang aku punya?"

Sambil menunduk menahan sakit, Tapak Bumi bergumam pelan. Perlahan, keran air dibuka untuk mengusap wajah. Beberapa kali siraman pun membasahi wajah yang sejak tadi meringis. Rambut panjangnya pun disiramkan. Lalu, disisirkan dengan tangan basah ke belakang.

Tapak Bumi kembali menghela napas. Mungkin wajah mulai terasa segar, ia pun mengangkat wajah untuk melihat ke cermin di wastafel itu.

"Haaah!"

Bagai tersambar petir, Tapak Bumi berteriak. Betapa terkejut saat melihat wajah yang ada di cermin. Segurat kerut tampak di bawah mata. Keriput di dahi juga terlihat. Sementara sebagian rambut kepala depan, berubah warna menjadi abu-abu. Garis menurun dari kedua samping hidung, yang menggurat ke sebelah bibir, memperjelas penuaan yang tidak terduga itu.

Tapak Bumi menulis Ajian Pancasona ke dalam sebuah kitab yang lembarannya dari kain itu sambil memeragakan beberapa jurus kanuragan tertinggi yang dikuasai. Memilih tanah lapang di luar kota tempat diadakannya upacara pembakaran mayat Gentong Kayu, hanya Tyas yang menemani. Tapak Bumi diantar dan dijemput pulang, bahkan sesekali ia menyaksikan sang pendekar Singhasari mengeluarkan tenaga dalam dari ajian-ajian yang dipakai saat bertempur melawan Gentong Kayu.

"Pengerahan ajian-ajian yang dituliskan ke dalam kitab Pancasona, membuatku juga kehilangan ajian-ajian itu makanya aku jadi tua? Tapi aku kan belum seumuran Guru Kalong Ireng sewaktu menurunkan Ajian Pancasona?"

Tapak Bumi mengernyit memandang ke cermin sambil berbicara sendiri. Lama dipandangi pula dengan mata menerawang. Namun kemudian, Tapak Bumi tertunduk. Matanya terpejam dan ia seperti telah kehilangan semua kekuatan.

"Apakah karena aku masuk ke masa yang sekarang sehingga aku menjadi tua setelah melepas Ajian Pancasona dan ajian-ajian lain?"

Tapak Bumi ingat, Tyas terperanjat saat menyaksikannya memukul tanah hingga terbelah dengan api yang menjalar. Namun, sang ahli nuklir BATANINDO itu tidak berani mengatakan apa-apa. Sementara sang pendekar Singhasari pun, tidak menjelaskan apa-apa saat mengetahui Tyas memerhatikan. Ajian yang digunakan, juga termasuk yang dituliskan ke dalam kitab untuk dilepaskan. Memang, ajian-ajian yang dituliskan di kitab kain itu merupakan ilmu kanuragan dengan kekuatan yang dahsyat. Kalau dilepaskan, maka lepas pula kekuatan dahsyat dari dalam dirinya.

Tapak Bumi menghela napas panjang. Dengan perlahan, dilangkahkan kaki untuk mengambil pakaian di lemari. Dalam gumaman, ia menyadari dirinya pendekar Jawa yang berasal dari masa lalu. Waktu ke masa hidup sekarang, ia telah meloncat jauh ke depan. Seiring waktu berjalan, kitab kain yang dituliskan pun mulai bertambah tebal. Pertanda semakin banyak pula kesaktian yang telah dikeluarkan dan umurnya pun dihitung seiring dengan panjangnya perjalanan waktu dari masa lalu hingga ke masa sekarang.

Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (Telah Terbit Silakan Pesan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang