Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (3)

4.4K 63 13
                                    

"Hei, mana uang upeti untuk Kerajaan?"

Seorang laki-laki berkain panjang yang bagus dengan keris terselip di pinggang, berdiri berkacak pinggang membentak seorang ibu tua yang ada di depannya. Para pengawal yang semula mengikuti dari belakang, langsung berdiri di sekeliling si ibu yang sedang duduk di tanah menunggui barang-barang yang dijajakan. Dengan tombak yang ditancapkan ke tanah, para pengawal itu berdiri di samping.

Suasana pasar tempat si ibu berjualan pun seketika berubah gaduh. Orang-orang yang tadinya berjalan santai, berlari ketakutan menjauh. Beberapa orang yang ada di dekat si ibu pun bergegas menyingkir. Sontak seseorang yang sedang berjongkok di hadapan si ibu melihat barang-barang, bergegas bangkit berdiri. Dengan wajah takut, ia pun berlari menjauh.

"Ma-maaf ... maaf, Pangeran. Be-belum ada u-uang."

Si ibu tampak terkejut dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba. Tubuhnya membungkuk mengiba. Ibu yang sudah renta itu terlihat bertambah tua dengan wajah yang ketakutan.

"Tahu ini bayaran yang ke berapa?" tanya si laki-laki.

Ia yang dipanggil Pangeran itu, mengangkat satu kaki hendak menginjak barang dagangan yang ada dalam keranjang di tanah. Ibu tua itu langsung menadahkan tangan menahan kaki sang Pangeran yang hendak menginjak barang dagangannya.

"Am-ampun, Pangeran. Am-ampun, Pangeran. Mohon ka-kasihani sa-saya, Pangeran. Be-belum ada uang," jeritnya mengiba.

Air mata pun mengalir di wajah tua si ibu. Wajah keriputnya mengiba. Kedua tangan terus menahan kaki sang Pangeran.

"Mana ada ampun-ampun! Kami bawa dagangannya, ya?"

Muka sang Pangeran terlihat sangat marah. Ia beranjak dari hadapan si ibu tua. Sesaat kemudian ia menelengkan kepala, memberi isyarat ke para pengawal untuk melakukan sesuatu. Para pengawalnya pun bergegas mengangkat barang dagangan si ibu.

"Ja-jangan, Tuan. To-tolong, Pangeran. Dengan a-apa saya ju-jualan besok?"

Ibu tua itu berteriak dengan wajah berlinang air mata. Ia berusaha menahan para pengawal yang hendak mengangkat keranjang dagangannya. Namun, kemudian terjatuh karena keranjang dagangan itu ditarik paksa. Ia kemudian merangkak ingin menggapai kaki sang Pangeran.  Malang, laki-laki yang berkain bagus itu malah menyepak tubuhnya.

Buuug!

"Aduh!"

Si ibu terbanting ke belakang dan sang Pangeran pun melangkah menjauh. Tidak ada yang menyadari, sebuah bayangan berkelebat cepat di antara para pengawal yang membawa keranjang dagangan si ibu. Lalu bayangan yang berkelebat itu, mengangkat tubuh si ibu yang terbanting di tanah.

Belum sempat berjalan jauh, sang Pangeran dan para pengawalnya seperti menyadari sesuatu. Keranjang yang mereka bawa sudah diambil orang dan diletakkan di samping si ibu tua. Sang Pangeran berbalik.

"Hei! Kau mempermainkan petugas Kerajaan!"

Ia menunjuk ke arah seorang laki-laki muda berikat kain di kepala yang berdiri dekat si ibu tua. Serentak ia dan para pengawal menyerbu si laki-laki. Sang Pangeran meloncat dan menyepakkan kaki dengan cepat.

"Heaaa!"

Tendangan kaki sang Pangeran menyabet tinggi ke arah kepala tetapi si laki-laki muda yang berdiri di samping si ibu hanya menggeser tubuh sedikit saja. Tangan pun hanya menepis-nepiskan tendangan sang Pangeran. Kelihatannya, si laki-laki memiliki keahlian berkelahi bak seorang pendekar.

"Heaaa!"

Saat tendangan sang Pangeran ditepiskan oleh si pendekar, para pengawal pun berlarian ikut menyerang. Mereka melayangkan sabetan-sabetan golok sembarang arah ke tubuh dan kepala.

"Hiaaat!" teriak para pengawal.

Mereka seperti berlomba menyerang dengan pukulan dan tendangan. Namun, lagi-lagi si pendekar muda hanya mengelak ke samping dan belakang. Tidak bergerak banyak. Bahkan tangannya pun ditangkiskan ke golok tajam yang dihunjamkan para pengawal.

"Hiaaat!"

Sabetan golok dan tombak terus bergantian diarahkan ke pendekar muda yang menolong si ibu tua. Namun, dengan mudah semua serangan itu ditangkis dengan tangan. Si ibu tua yang duduk di sampingnya pun kontan meringkuk ketakutan sambil menjerit.

"Berhenti!"

Tiba-tiba ada bentakan. Mendengar suara itu, para pengawal yang tadi menyerang, sontak berhenti. Mereka menyingkir. Sang Pangeran berdiri sambil memegang keris.

"Siapa kau, Kisanak?" tanya sang Pangeran dengan mengangkat dagu.

Pendekar muda itu tidak menjawab. Pura-pura tidak mendengar, ia malah mengencangkan ikatan kain di kepala.

"Hei, kau yang ditanya!"

Seorang pengawal menyorongkan tombak sambil berteriak marah. Si pendekar menyambut kedatangan tombak dengan menangkap besi tajam di ujungnya lalu, mematahkan.

Tring!

Besi tajam itu patah lalu, dilemparkan ke arah pengawal yang menyerang. Patahannya melesat kencang dan melukai wajah pengawal itu.

"Aduh!"

Sang pengawal yang menyorongkan tombak berteriak kencang karena terkejut. Pipinya terlihat berdarah. Melihat kejadian itu, surutlah nyali sang Pangeran bersama pasukan pengawal.

Pendekar itu berdiri diam menanti serangan. Di sampingnya, si ibu tua duduk meringkuk di tanah dengan wajah ketakutan. Namun kemudian sang Pangeran melambaikan tangan, mengajak para pengawal pergi.

Setelah mereka pergi, pendekar itu mengulurkan tangan membantu si ibu tua berdiri. Si ibu masih kelihatan takut, wajahnya pucat. Ia seperti tidak sanggup berdiri.

"Jangan takut. Mereka tidak akan kembali hari ini," kata si pendekar muda dengan lembut.

Ia membungkuk membantu si ibu berdiri dengan tangan yang memegangi keranjang jualan. Dengan lembut dipapahnya berjalan mencari tempat duduk. Hingga di bawah sebuah pohon besar yang ada bebatuan, si pendekar mendudukkan si ibu.

"Istirahatlah dulu di sini," katanya kemudian lalu pergi.

Orang-orang yang tadinya bersembunyi, satu per satu mulai keluar. Gubuk-gubuk berdagang yang tadi ditinggalkan, kini mulai dipakai lagi. Barang-barang dagangan pun mulai digelar kembali di tanah.


---

Bersambung

Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (Telah Terbit Silakan Pesan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang