Setelah mengisi air ke dalam empat buah kendi hingga penuh, seorang bocah menyeka keringat yang bercucuran di dahi. Beruntung sinar matahari terhalang dedaunan sehingga ia terlihat tidak kepanasan. Perlahan dua bilah gagang yang masing-masing menggantung dua kendi itu pun diangkat. Gagang dari bilah bambu diletakkan di bahu dan dipas-paskan dengan baik agar tidak membuat terjatuh. Lalu, kaki kanannya yang terlihat bergetar mulai dilangkahkan.
"Huuup!"
Napas panjang ditarik dan ditahan di perut, ia pun melangkah dengan hati-hati. Namun baru beberapa langkah berjalan, ia memijak tanah yang becek. Sontak si bocah berhenti berjalan saat pijakan kaki terasa menggelincir. Tampak ia berusaha menahan tetap berdiri agar tidak jatuh. Tubuh yang miring ke kanan dan ke kiri pun diseimbangkan dengan cepat. Air yang tertumpah dari kendi-kendi itu yang membuat jalan setapak menjadi licin.
Setelah menenangkan diri, si bocah kembali menarik napas panjang dan ditahan di perut dengan cepat. Tampak bukan sebagai orang yang mudah menyerah, ia pun mulai kembali berjalan. Dengan susah payah menyusuri jalan setapak dari pinggir sungai tempat tadi mengambil air, masuk ke dalam hutan.
Jalan setapak itu menanjak. Keempat kendi yang digantung di masing-masing gagang bambu yang diletakkan di kanan-kiri bahu, kelihatannya berat. Namun, si bocah kecil terus melangkahkan kaki membawa kendi masuk ke dalam hutan. Napas panjang yang ditarik terus berulang terdengar. Di dalam hutan rimba itulah, si bocah tinggal bersama seorang pendekar yang sekaligus adalah guru dan orang tuanya.
Sang Guru memiliki julukan sesuai dengan posisi bertapanya yang unik. Ia selalu bergelayut dengan kepala di bawah dan kaki di dahan pohon. Sang guru kelihatan sudah berumur tetapi tidak ada satu orang pun yang mengetahui usia sang manusia kalong. Ya, para pendekar Tanah Jawa memanggil guru si bocah dengan sebutan Kalong Ireng.
---
"Taruh baik-baik di lehermu dulu, Tapak Bumi. Baru bawa ke sini!"
Kalong Ireng memerintah sambil membaringkan tubuh di sebuah ranting yang melengkung hampir menyentuh tanah. Ia memerhatikan si bocah berjalan tertatih-tatih membawa dua bilah bambu yang dipanggul di bahu. Masing-masing bilah bambu digunakan untuk membawa air dalam kendi. Ujung-ujung bilah bambu ini mengikat kendi dengan serat kulit batang pisang. Keringat pun membasahi tubuh bocah yang bertelanjang dada itu.
"A-aku capek, Guru. Udah du-dulu."
Si bocah yang dipanggil dengan sebutan Tapak Bumi itu terlihat sangat lelah. Ia menarik napas pun dengan tersengal-sengal. Suara yang terdengar serak saat berbicara itu dikarenakan rasa kering di kerongkongannya.
"Sedikit lagi, ah. Jangan banyak mengeluh!" tandas Kalong Ireng.
Ranting pohon yang melengkung karena menahan tubuhnya, tidak kunjung patah walau ujung ranting itu hampir menyentuh tanah. Sepintas sambil membawa dua buluh bambu di leher, Tapak Bumi melihat tempat berbaring sang Guru.
"Ingat, bawa sambil tarik napas dan tahan di perut, baru berjalan. Tarik napas lagi dan tahan di perut lagi, baru berjalan!"
Kalong Ireng mengingatkan Tapak Bumi. Ia memalingkan muka dengan mata yang mengerjap-ngerjap karena mengorek-ngorek telinga dengan daun.
"I-iya, Guru!" seru Tapak Bumi.
Sebelum kembali melangkah, kembali ditarik napas dan ditahan di perut. Lalu, berjalan perlahan. Saat kelelahan membuatnya hampir jatuh, ditarik lagi napas dan ditahan. Lalu, kembali berjalan perlahan. Kalong Ireng seperti tidak peduli dengan Tapak Bumi yang sedang bersusah payah.
Tiba-tiba pandangan Tapak Bumi meredup. Tubuh bocah kecil itu melayang jatuh dengan cepat. Namun, secepat kilat pula Kalong Ireng menyambar Tapak Bumi dan membawanya ke bawah sebuah pohon.
---
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (Telah Terbit Silakan Pesan)
Historical FictionTapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa --- Di masa lalu, Tapak Bumi hidup di masa akhir Kerajaan Singhasari dan pra-Kerajaan Majapahit. Kematian Prabu Shri Maharajadiraja Kertanagara akibat pemberontakan Jayakatwang sangat menyakitkan hati Dyah...