Upacara pembakaran mayat Tapak Bumi diliputi hujan yang turun sejak pagi. Langit terlihat gelap karena tertutup awan hujan. Angin yang berembus, membawa udara dingin menyusup ke tubuh mereka yang menghadiri upacara itu. Terlihat suasana duka yang dalam di wajah mereka.
Mayat sang pendekar Singhasari yang telah dibersihkan, dikenakan kain panjang putih penutup bagian bawah. Lalu, kain putih panjang yang lain dibentangkan menutupi seluruh tubuh. Seorang Brahmana yang juga berkain putih panjang melilit tubuh dengan rambut yang digelung ke atas, memerciki mayat yang kini telah terbungkus rapi itu dengan air yang diambil dari kendi emas yang dipegang. Para Brahmana yang tadi ikut membersihkan, kini membakar dupa dan mengibaskan asapnya ke arah mayat Tapak Bumi. Mereka meletakkan dupa yang telah dibakar itu di sekitar pemandian mayat Tapak Bumi. Sementara seorang Brahmana yang lain tampak menemani dengan melantunkan gita dari sebuah kitab. Suara alunan alat musik tradisional Jawa mengiringi upacara yang sedang dilakukan dalam derasnya air hujan itu.
Selesai selesai memerciki mayat Tapak Bumi, sang Brahmana menyerahkan kendi emasnya ke seorang pendamping. Bersama Brahmana yang lain, ia merunduk dan bersiap mengangkat mayat sang pendekar Singhasari. Seorang pendamping yang lain pun bersiap dengan sebuah payung besar di tangan. Dengan terus diiringi lantunan gita dari seorang Brahmana yang memegang kitab dan dupa-dupa yang telah dibakar, mereka berjalan membawa ke tempat pembakaran di sela guyuran hujan. Si pendamping Brahmana, berjalan di samping untuk menudungi mayat Tapak Bumi dengan payung yang terkembang.
Di sebuah bangunan dari beton setinggi beberapa meter dengan tangga naik yang di puncaknya diberi penutup untuk hujan, telah ditumpukkan kayu. Mereka pun mengangkat mayat Tapak Bumi ke situ dan menaiki tangganya. Sang Brahmana yang melantunkan gita dengan membawa dupa yang telah dibakar, terlihat berjalan mendahului di depan.
Sesampai di atas, para Brahmana yang mengangkat mayat Tapak Bumi, membaringkan di tumpukan kayu. Lalu, menyusun dupa yang dibawa di pinggir-pinggirannya. Sebagian dupa yang telah dibakar itu, diberikan kepada sang Brahmana yang tadi memandikan Tapak Bumi. Tampaknya ia yang memimpin upacara itu. Diletakkan dupa yang terbakar di sekitar tumpukan kayu di mana mayat sang pendekar Singhasari dibaringkan. Perlahan tumpukan kayu yang kering itu pun mulai terbakar.
Api langsung berkobar hingga ke penutup. Tempias hujan yang terbawa angin, tidak mematikan api yang membumbung naik. Para peliput berita yang sejak awal mengikuti perjalanan upacara, menyorotkan kamera untuk mengabadikan peristiwa itu. Mereka berdiri di bawah tenda undangan sambil merekam dan memotret. Semua yang ikut menyaksikan upacara, duduk di bawah tenda itu. Pihak kepolisian dan militer yang diperintahkan untuk menjaga prosesi upacara, berdiri memerhatikan dari belakang deretan kursi.
Di antara mereka yang hadir, tampak Jenderal Sandika Perkasa yang mengenakan kaca mata hitam. Ia duduk melipat tangan dan membiarkan jas seragam dinas harian militernya yang panjang, terjuntai menyentuh tanah yang basah. Juga tampak Kepala Kepolisian Negara yang sama-sama mengenakan kaca mata hitam. Dengan seragam yang di bahu berjejer empat bintang, sang pimpinan tertinggi kepolisian duduk memandangi bangunan tempat pembakaran mayat Tapak Bumi. Tyas yang duduk berdampingan dengan Kepala BATANINDO, memandangi sambil menyeka air mata. Sang kepala lembaga atom nasional itu terlihat beberapa kali berbisik sambil menepuk-nepuk bahu Tyas. Mereka berdua yang juga sama-sama mengenakan kaca mata hitam, berulang kali menyeka mata dengan jari dan punggung tangan.
Beberapa waktu kemudian, sang Brahmana yang tadi memandikan Tapak Bumi, menyendengkan kepala ke seorang Brahmana yang berdiri di samping. Ia mengambil dupa yang terbakar dan memberikan sambil memandang ke deretan kursi Jenderal Sandika, Kepala Kepolisian Negara, Tyas dan Kepala BATANINDO. Brahmana yang diajak berbicara ikut menoleh ke arah tenda para undangan itu. Sambil mengangguk, ia melangkah turun dengan memegang dupa yang telah terbakar. Sementara di belakang, si pendamping para Brahmana menemani dengan payung yang ditudungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa (Telah Terbit Silakan Pesan)
Ficção HistóricaTapak Bumi - Pendekar Terakhir Tanah Jawa --- Di masa lalu, Tapak Bumi hidup di masa akhir Kerajaan Singhasari dan pra-Kerajaan Majapahit. Kematian Prabu Shri Maharajadiraja Kertanagara akibat pemberontakan Jayakatwang sangat menyakitkan hati Dyah...