42. Satya Jahat

5.8K 732 117
                                    

Melangkah dengan menggenggam kantong plastik berisi obat, Satya kini sedang menuju ruangan Sadina. Meskipun perempuan itu sudah berhari-hari menjadikannya seperti orang asing, tetapi Satya tak pernah sedikit pun melepas sang istri dari pandangan.

Mereka memang sedang tidak baik-baik saja, terlebih kini keduanya tinggal di ruang berbeda, meskipun tetap saja seatap. Satya terus memperhatikan Sadina, termaksud aktivitas perempuan itu.

Tadi siang, saat berpapasan di lift, Satya bisa melihat kondisi Sadina yang nampak pucat. Saat bertanya ada apa? Ia malah mendapatkan perlakuan tak baik dari sang istri.

Tolak, tolak, dan tolak. Bahkan makanan yang setiap hari Satya bawakan untuk perempuan itu, selalu saja dikembalikan padanya atau dibiarkan saja basi di atas meja makan.

Sadina benar-benar mengasingkan diri darinya. Satya seakan tak punya tempat lagi seperti dulu. Menyesal? Tentu saja Satya merasakan hal tersebut. Jika ia tahu Sadina akan menjauhinya seperti ini, ia tak akan mengambil langkah untuk hidup terpisah dulu.

Sekarang, Satya harus membujuk Sadina untuk menerima obat darinya. Sudah pasti akan ada acara pemaksaan, karena ia tahu betul betapa keras kepalanya sang istri.

Tiba di lantai, di mana ruang kerja Sadina berada. Satya menyusuri tempat tersebut. Perempuan itu, masih berbagi ruangan dengan Claritta, bahkan Diandra juga ikut bergabung di dalam sana. Sungguh tiga sahabat yang meresahkan kantor.

Mengetuk ruangan, telinga Satya menangkap suara panik sambil memanggil nama sang istri dari dalam sana. Satya segera memutar gagang pintu, dan masuk ke ruangan tersebut.

Sadina tak sadarkan diri di kursi kerja, membuat Satya seketika menuju perempuan itu.

"Satya," panggil Claritta, "Sadina pingsan."

Satya meletakkan punggung tangannya ke jidat Sadina. Dingin. Segera Satya menggendong tubuh itu, lalu membawa ke luar ruangan.

Untung saja ia datang tanpa diminta ke ruangan Claritta. Jadi Satya bisa mengetahui sendiri kondisi sang istri tanpa perantara orang lain. Baru kali ini ia merasa berguna sebagai seorang suami.

_______

Sadina pasti akan marah saat pertama kali membuka mata malah melihat wajah Satya. Perempuan itu kini sedang merintih menahan sakit, sambil pelan-pelan membuka mata.

Jarum infus kini tertancap di tangan kiri Sadina. Kabar mengejutkan dari dokter membuat Satya mau tak mau harus tetap di dekat sang istri.

Awalnya Satya tak percaya dengan hasil pemeriksaan dokter dan juga pengakuan dari Claritta. Ya, istri dari Azelf itu setia menemani Satya membawa Sadina ke dokter.

Ternyata, Claritta lebih tahu apa yang terjadi pada Sadina akhir-akhir ini, ketimbang Satya yang bahkan tinggal seatap. Keadaan yang menghalanginya untuk pertama kali mengetahui bahwa sang istri sedang mengandung.

Susah makan hingga mengakibatkan kekurangan cairan, itulah penyebab Sadina berakhir di ruang rawat ini.

Sekarang, apa yang ditakutkan Satya terjadi juga. Takdir seolah membawanya terlalu dalam hingga membuat ia tak boleh lepas dari sang istri. Cerai saat memiliki anak? Satya malu pada kedua orang tuanya yang sampai saat ini masih utuh menjalin rumah tangga.

Terlebih lagi pada keluarga Sadina. Ia pasti akan dicap sebagai kepala keluarga gagal, laki-laki tak bisa diandalkan, dan lain-lain.

Tadi, ia menelpon Sisca untuk memberi tahu bahwa Sadina masuk rumah sakit. Satya juga mengatakan kabar gembira dari dokter bahwa ibunya sebentar lagi akan memiliki cucu. Buah dari pernikahannya dengan Sadina.

Walau pernikahan ini tak diharapkan olehnya dan Sadina, tetapi anak tidak masuk dalam perjanjian mereka. Satya tak boleh menyalahkan kehadiran calon bayi mereka, semua adalah kesalahannya.

"Satya?" lirih Sadina, yang langsung dijawabnya dengan gumaman.

Satya menggenggam tangan yang terlihat lemah itu. "Udah berapa hari makannya nggak enak?"

Sadina menggeleng lemah. "Lupa."

"Mual?"

Mengangguk. "Udah tahu?"

Ya, Sadina menanyakan Satya sudah tahu atau belum tentang bayi yang dikandung. Jelas saja ia akan mengangguk, sambil menggenggam erat tangan Sadina.

Satya terlalu takut akan kehadiran buah hati mereka. Membesarkan anak dalam keadaan sudah cerai, selama ini tak pernah ia pikirkan akan terjadi di masa depannya. Satya jelas ingin memiliki keluarga yang harmonis.

"Terus, sekarang gimana?" tanya Sadina.

Satya menunduk dalam. "Maaf, gue ngomong aneh. Tapi, ini tubuh lo, lo punya hak buat ngapain aja. Termaksud buat ...."

"Enggak!" tolak Sadina lalu menarik tangan yang digenggam Satya, "enggak! Gue nggak mau! Kok, lo bisa mikir jahat gitu ...!"

Satya berusaha menenangkan Sadina yang kini sedang berontak karena menolak apa yang ia katakan tadi. Memang hanya itu cara agar anak mereka tak merasakan kekecewaan seumur hidup. Perpisahan orang tua itu kejam, semua anak pasti tak menginginkan hal tersebut.

"Din, kita nggak bisa jadi orang tua utuh buat dia." Satya berusaha membuat Sadina mengerti.

Sadina berontak lagi sambil mendorong Satya menjauh. "Jahat! Lo jahat! Ini anak pertama kita!"

Berteriak berkali-kali, Sadina mengumpat pada Satya. Ya, memang keputusannya kali ini tak bisa ditoleransi lagi. Dimaki sekalipun oleh sang istri ia terima.

"Kamu tenang dulu," bujuk Satya.

Sadina terus mendorongnya menjauh, tak ingin disentuh barang hanya setitik saja. Perempuan itu meracau sambil menangis.

Di tengah kekacauan mereka, pintu ruang rawat terbuka. Di sana, Sisca berdiri dengan wajah terkejut bukan main karena keadaan Satya dan Sadina yang tak bisa dibilang akur.

"Kalian kenapa?" tanya Sisca yang langsung membuat keduanya diam. "Satya, kenapa Sadina nangis gitu?"

Sadina masih dengan isakkan mencoba untuk menenangkan diri. "Satya, Ma ... jahat."

Seketika mata Satya melirik sang istri, memohon dalam hati agar perempuan itu tak mengatakan apa yang membuat mereka bertengkar.

"Kamu diapain sama Satya, Nak?"  tanya Sisca mendekat pada sang menantu.

Sadina menarik napas dalam. "Satya minta aku gugurin janinku."

Di saat dasar pertengkaran mereka diucapkan Sadina, Satya seketika pasrah dengan tatap dingin ibu kandungnya sendiri. Mungkin saja, sekarang Sisca jijik punya anak sepertinya.

Namun, apakah Satya punya pilihan? Ia seakan dibuat lumpuh dengan keadaan sekarang. Maju salah, mundur apalagi. Sebagai seorang ayah, ada nyawa yang keberadaannya harus ia pertahankan.

"Maaf," ucap Satya, lalu memutuskan untuk melangkah keluar ruangan.

"Satya cuma khawatir sama kamu. Ini anak pertama kalian, dia belum biasa liat kamu tersiksa karna ngidam." Sisca berucap halus, membuat Satya kembali berbalik.

Ibunya membela tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Setetes air mata Satya jatuh tanpa diduga. Sisca masih berpikiran baik tentang permintaannya pada Sadina untuk menggugurkan bayi mereka. Satu kebohongan lagi, dan itu membuat hati Satya sebagai seorang anak hancur.

Martha kini duduk sambil membuat Sadina mengerti. Satya tak bisa bicara apa pun, saat ibunya dengan lembut membuat istrinya mengerti, meskipun wanita itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.

Bukan seperti apa yang Sisca pikirkan, tentang ia yang tak bisa melihat sang istri tersiksa karena kehadiran satu sosok di dalam perut, Satya dan Sadina benar-benar tak bisa menjadi orang tua utuh untuk anak mereka. Sisca sudah salah sangka.

Apa ini masih akan berlanjut?

______

2024

Kalau ada yang mau beli pdf, silakan ke no.WA 082290153123. Harganya 25K yaaaa 🥰

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 12 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Istri Setahun SatyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang