Bab 1

1.7K 119 23
                                    

Setiap manusia yang menginjak remaja tentu masih sibuk dengan dunia sekolah. Baik sekolah SMP, SMA ataupun yang dimasukkan ke pesantren. Hampir semua anak di daratan bumi ini mengenyam pendidikan saat usia remaja, tapi banyak pula yang memilih bekerja karena harus memikul tanggung jawab pada keluarga.

Seperti Risa, ia anak gadis yang putus sekolah karena tak bisa membayar SPP sekolah, ia dilahirkan 17 tahun lalu dan sekarang statusnya sebagai pedagang kue keliling.

Ia sudah berkeliling dari jam 6 pagi hingga jam 12 siang, keringat sebesar biji jagung menghiasi wajah lelahnya. Selain karena tak bisa sekolah lagi, Risa juga terpaksa banting tulang karena ibunya mengidap leukemia tingkat akut. Membuat Risa wajib extra dalam mencari uang untuk membeli obat pereda sementara.

Siapa sih yang tidak tahu akan bahayanya penyakit yang satu itu? Apalagi Risa juga pernah mengenyam pendidikan sampai kelas 1. Pasti tahu seluk-beluk penyakit itu akan berkembang jika tidak ditindak lanjuti dengan perawatan tepat. Tapi Risa hanya bisa membawakan obat pereda sementara, membuatnya kadang menangis dalam diam karena melihat kondisi ibunya yang semakin hari semakin memprihatinkan.

Gadis berjilbab segitiga ini terus berjalan sambil berteriak menjajakan dagangannya.

"WADAI-WADAI! ADA WADAI APAM, BINGKA NYIUR, WADAI TUANG, WADAI CINCIN! LAPAT! PAIS PISANG! UNTUK-UNTUK."

Karena Risa orang asli Kalimantan, maka bahasa yang dipakai pun tak jauh-jauh dari bahasa Borneo itu. Ia menjajakan wadai (kue) yang dibikin langsung olehnya dan ibunya———jika penyakitnya tidak kambuh.

"Risa, wadai apamnya 5 ribu," ujar ibu-ibu yang menyembulkan kepala dari pintu rumah orang itu. "Hadangi lah, aku meambil sarudung wan duitnya dahulu." (Tunggu sebentar aku ambil kerudung dan uangnya)

"Inggih." (Iya)

Risa menurunkan keranjangnya ke tanah di depan pagar, ia mengambil duduk berjongkok lalu mengambil kue alam menggunakan tangan yang dilapisi plastik bersih agar terjaga kehegenisan makanan tersebut.

Ibu itu datang menggunakan jilbab lebar nan panjang. "Untung karudungku gonol, kawa haja aku bedastar tangan handap," (Beruntung kerudung aku lebar nan panjang, jadi tidak apa-apa kalau lengan baju aku pendek) papar ibu tersebut.

Risa tersenyum, inilah enaknya tinggal di Kalimantan. Selain ramah, orang-orangnya juga mengerti tentang etika berpakaian. Sepaling kurang perempuan di sini kalau keluar pasti menutup kepalanya, baik menggunakan handuk atau kerudung. Tapi ada juga yang nggak taat aturan Allah.

"Nah duitnya, tukar." (Ini uangnya)

"Jual."

Mereka berdua berakad jual-beli khas Kalimantan. Setelahnya Risa kembali merapikan keranjang dan melanjutkan perjalanan.

Matahari kian merangkak naik, angin ikut berayun menerpa wajah letih Risa. Kadang Risa berkeliling ke berbagai gang, kadang juga ia menjajakan dagangannya di keramaian manusia. Namun ia berjanji tidak akan berdagang ke sekolah SMA karena sering dicemooh oleh teman-teman lamanya.

Gaungan azan zuhur berkumandang nyaring. Risa yang mendengar hal itu lantas pulang ke rumahnya untuk mengistirahatkan badan dan salat.

Selesai salat, Risa kembali ke dapur merapikan beberapa kue yang tidak habis terjual. Hasil hari ini lumayanlah untuk beli bahan kue dan sisanya dibelikan ke obat ibu.

"Risa, sini 'Nak," panggil Nana———ibunya Risa.

"Pun," (iya) ucap Risa berintonasi rendah. Ia tak pernah meninggikan suaranya melebihi suara ibunya. Karena meninggikan suara termasuk kategori tidak menghormati orang tua dan bisa dikatakan durhaka. Kalau ada sebab (misalnya tuli dan lain sebagainya) tidak apa-apa meninggikan suara.

A L G A R I S  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang