Nggak jarang gue mendapatkan pertanyaan-pertanyaan setelah gue putus dengan Aga. Kalau diringkas, pertanyaan mereka sebenarnya sama.
"What breakup has bring to your life?"
Gue selalu berbohong ketika menjawab semua itu, menyangkal dengan mengatakan bahwa nggak ada yang berubah sama sekali dan gue baik-baik saja. I hope I was.
Nyatanya, berakhirnya hubungan kami saat itu membawa gue ke dalam lorong gelap, sepi, dan nggak ada siapapun yang mampu mengajak gue keluar dari sana. The fact that our breakup bring my life to most loneliness phase. Gue menangis sendiri -kecuali saat itu gue nggak bisa menahan untuk lari ke kost Shella dan menangis tersedu-sedu. Gue nggak mampu menceritakan kepada siapapun kalau gue merasa sendiri dan nggak tahu apa yang harus gue lakukan.
Fakta menyakitkan bahwa jika kehilangan seseorang, itu berarti kita juga harus kehilangan kebiasaannya. Gue menangis karena harus kehilangan kebiasaan itu. Kebiasaan yang tadinya bisa gue lakukan berdua dengan Aga, kali ini gue harus memulai kebiasaan baru untuk bisa melakukan semuanya sendirian.
Dan itu sangat sulit.
Nggak hanya itu, gue juga kehilangan keleluasaan berhubungan dengan teman dan keluarganya. Gue masih sangat sensitif jika mereka selalu membawa Aga ke dalam pembicaraan kami dan mengungkit tentang masa lalu. Dan yang bisa gue lakukan hanyalah menyangkal semuanya.
I don't know at first that breakup was that worse. Beberapa hari setelahnya gue harus berbohong kalau nggak ada yang berpengaruh dari patah hati tersebut, membuat gue kehilangan diri gue sendiri, bahkan gue sampai nggak mengerti apa yang gue rasakan sebenarnya. That shit had me to pretend that I was not losing anything, walaupun sebenarnya gue kalah. Sangat telak.
Dan tadi, untuk pertama kalinya, gue nggak merasakan rasa kesepian itu mengelilingi gue. Ketika gue, Mikha, dan Shella menghabiskan waktu banyak untuk mengobrol di warung seafood Santiga Fatmawati. Kami tertawa puas, membicarakan kebodohan di saat pertama mereka masuk ke perusahaan, membicarakan tentang senior di kantor yang terkenal sebagai penjilat atasan, dan banyak hal lain yang membuat gue tertawa hingga pipi gue terasa sakit karena tertawa terbahak-bahak. Sudah lama gue merasa terakhir kali tertawa selepas ini.
Gue menatap langit-langit kamar gue, merapatkan selimut untuk menutupi leher bersiap untuk memejamkan mata gue, karena gue nggak ingin terjebak dalam pikiran-pikiran aneh yang membuat gue harus mengulur waktu tidur. Namun, ponsel gue berdering, dan itu adalah panggilan dari Mikha.
"Halo, Mik?"
"Ayunda?"
"Iya?"
"Aku kira kamu udah tidur."
"Belum... tapi baru mau sih."
"Oh... okay maaf kalau aku ganggu."
"Eum... nggak apa-apa kalau kamu ada sesuatu penting yang mau diomongin."
"Nggak terlalu penting sih, cuma ngetest nomer kamu setelah tadi aku minta."
"Berhasil kok, Mik. Aku nggak mungkin kasih kamu nomer tukang jual ikan."
Gue bisa mendengar Mikha agak terkekeh di sana.
"Okay... selamat tidur, Ayunda."
"Hmmm... Good night, Mikha."
"Ayunda-"
Gue baru saja ingin menekan tombol akhiri panggilan, tapi gue urungkan dan kembali menempelkan ponsel ke telinga.
"Iya?"
"Kalau butuh sesuatu kamu bisa hubungi aku. Maksud aku, hidup nggak melulu harus sendiri kan?"