Handphone gue bergetar beberapa kali ketika gue mencoba untuk memejamkan mata, karena menahan sakit hari pertama haid. Dan itu semua panggilan yang nggak terjawab dari Aga.
Dengan kuat tangan gue meremas perut yang rasa sakitnya seperti diinjak raksasa lalu disayat-sayat dengan samurai. Gue tahu kalau hari ini kemungkinan hari pertama tamu bulanan gue datang, tapi dengan bodohnya gue acuh saja. Lagipula, tadi saat Shella pamit pulang gue nggak merasa kenapa-kenapa dan nggak ada tanda kalau hari ini akan menjadi hari yang sangat merepotkan.
Tapi, begitu setengah jam setelah Shella keluar dari kost, perut gue mulai rewel dan ada bercak darah di celana gue, dimana gue harus mencuci noda ini di pagi hari dengan keadaan perut nggak karuan.
Huhu hari ini kan ada undangan acara mas Sandi dan mbak Saras, sedangkan gue sudah minum obat pereda nyeri pun perut gue masih nggak bisa diajak kompromi.
Yang bisa gue lakukan hanya menangis, berdoa pada Tuhan agar rasa sakit ini seenggaknya bisa berkurang untuk hari ini. Karena, gue berusaha tidurpun nggak bisa, kalah dengan rasa sakit di perut gue. Ingin telepon bunda, tapi nggak mau membuat bunda khawatir.
Gue sedang tidur dengan posisi miring, menggulung badan gue karena rasa sakit. Dan gue bisa mendengar suara knop pintu ditarik.
Gue lupa kunci pintu ya... Bagaimana kalau itu orang jahat? Atau perampok dengan senjata tajam? Aduh salah sasaran di kost gue nggak ada barang berharga.
"Ay?"
Suara Aga ternyata. Refleks gue langsung memutar posisi, melihat dia berjalan mendekat dengan beberapa plastik di tangannya.
Gue yakin wajah gue sangat jelek sekarang dengan air mata yang nggak kunjung berhenti. Sialnya begitu Aga mendekat gue semakin nggak bisa mengontrol tangisan gue yang semakin pecah.
"Udah minum obat?"
Gue hanya mengangguk sambil menangis tersedu-sedu.
"Sakit, Ga... huhuhu..."
Aga menarik kursi dan gue harus membalik badan gue lagi untuk menghadap ke arahnya.
"Maaf ya aku baru dateng. Udah kompres?"
Gue menggeleng. Aga mengusap air mata yang baru saja jatuh ke pipi dengan tangannya. Lalu dia bangkit, berjalan menuju rak piring. Gue nggak bisa melihat langsung apa yang dia lakukan, karena gue nggak sanggup lagi untuk menggerakkan badan. Beberapa menit kemudian Aga berlari kecil dengan baskom berukuran sedang dan waslap di tangannya.
"Maaf, Ay, permisi aku buka sedikit bajunya." Kebiasaan Aga yang nggak pernah berubah, dia selalu meminta izin gue untuk menyingkap baju untuk mengompres air hangat di perut.
Dengan sangat telaten, dia mengompres punggung dan perut gue secara bergantian.
"Nggak usah ke acara mas Sandi dulu ya kalau masih kayak gini." Ujarnya