"Semua cewek-cewek di kantor tuh ya, pada ngomongin Mikha terus." Bisik Shella dari hadapan gue.
Kami sedang makan di kantin, karena ini sedang akhir bulan dan harus menghemat gaji untuk beli kebutuhan dan keinginan kami yang jadi satu. Shella dengan soto mie langganannya dan gue dengan somay yang biasa gue beli.
"Wajar, Shel. Tampang Mikha tuh emang lumayan, tinggi, apalagi masih muda. Buat intern-intern baru yang belum pernah ketemu Mikha pasti bakal kepincut sama dia."
"Lo nggak mau ngedeketin dia kak? Mumpung lo masih sendiri."
Gue hanya bisa tertawa, nggak ada terbesit di pikiran gue untuk mendekati Mikha.
"Ngapain? Lagian selera gue bukan sama yang lebih muda."
"Lo nggak inget dulu sebelum Mikha pindah dia sempet deketin lo juga, tapi gara-gara lo masih pacaran sama mas Aga, dia mundur deh."
"Masa sih? Nggak inget gue."
Dan nggak pernah merasa kalau Mikha pernah mendekati gue, karena dulu kami juga dekat seperti ini. Baik gue dan Shella juga nggak ada bedanya di hadapan Mikha.
"Ah lo mah urusan begini selalu pikun. Umur mah bukan alasan kak, cuma beda dua tahun kan sama Mikha? Kalo lo sama dia jalan berdua juga nggak bakal ketahuan kalau lo lebih tua."
"Muka gue baby face dong?"
Shella mencibir gue dengan sangat jelas. Lalu tangannya menepuk tangan gue dan matanya memberi kode bahwa ada yang datang dari belakang.
"Mikha." Kode dari komat-kamit mulutnya.
Gue menoleh sedikit ke belakang, benar saja, postur tinggi Mikha datang menghampiri kami dengan satu nampan di tangannya, dia mengambil tempat duduk di sebelah gue.
"Baru istirahat, Mik?" tanya gue.
Di nampan Mikha ada satu mangkuk bubur dan es teh.
"Iya. Tadi ada meeting sebentar."
"Yes. Berarti kita ada alasan balik ke ruangan agak telat." Ujar Shella.
Mika yang baru saja menyendok buburnya, terjeda sebentar, "Loh? Kenapa? Kalo mau balik ke ruangan nggak apa-apa duluan aja."
"Shella cuma pake nama kamu aja buat alasan, Mik."
"Alasan?"
"Iya... Alasan ngobrol sama pak Mikha si orang penting ini."
Mikha terkekeh dan belum sempat menyendok bubur ke dalam mulutnya. Makin lama juga kayaknya gue dan Shella balik ke ruangan. Lagian... hari ini tuh rasanya sangaaaattt malas untuk kerja. Gue bahkan seharian ini ngantuk dan nggak sanggup menatap layar monitor terlalu lama.
"Lanjutin makan aja, Mik." Gue berseru agar Mikha mengenyangkan perutnya dulu dan nggak mengambil antensi pada pembicaraan gue dan Maya.
Shella justru memasang wajah meledek gue dan gue mengisyaratkan dia untuk diam. Kebetulan makanan kami sudah habis, jadi tinggal menunggu Mikha selesai makan. Tiba-tiba gue teringat sesuatu yang sudah gue janjikan pada Shella.
"Shel, kapan kita mau ke tempat itu?"
"Tempat apa?"
"Itu loh bakery cafe yang sempet gue tunjukin."
Shella berusaha mengingat, lalu dia menepuk meja ketika sudah sadar dengan tempat yang gue maksud, "OH! Yah... hari ini nggak bisa, lo tau kan hari ini hari kamis, Adrian pasti mau ngajak gue makan bareng."
"Bakery cafe?" Mikha menyambar sambil menyedot es teh lewat sedotan berwarna kuning.
Gue membuka layar kunci ponsel gue, menunjukkan gambar suatu bakery cafe yang nggak sengaja gue temukan di instagram saat sedang scrolling akun kuliner. Kebetulan tempatnya nggak terlalu jauh dari kantor, jadi gue mengajak Shella untuk kesana kapan-kapan.