Semua orang menatap gue dengan seksama karena datang ke kantor agak telat hari ini. Gue memilih acuh, lalu langsung menempati meja gue dan menarik folder yang akan gue kerjakan. Well, gue sudah izin ke ketua divisi gue untuk datang telat karena merasa kurang enak badan.
Satu kantor dengan semangat menyambut pegawai baru yang dimutasi dari kantor Surabaya ke Jakarta. Sedangkan gue nggak bisa mengikuti euforia mereka, karena saat bangun tadi kepala gue rasanya sangat pusing dan suhu badan gue menyentuh angka 37.6 derajat. Mungkin ini efek karena beberapa hari lalu gue dan Shella menghabiskan uang ke Sephora, kami nggak berhenti disitu, setelah kenyang makan ramen Jepang yang ternyata harganya cukup membuat gue mulas, kami melipir ke stand souffle cake dengan topping strawberry yang sedang booming akhir-akhir ini.
Gue mengintip ke kubikel Shella yang berada di hadapan gue"Shel, lo udah liat pegawai mutasi itu?"
Suara benturan jari Shella dan keyboard terdengar sangat nyaring, "Haduh... Belum, nih ya ketua divisi lo tuh, gue baru dateng udah disodorin kertas report buat lusa."
Gue kembali ke tempat duduk, berusaha mengembalikan fokus dengan pekerjaan hari ini.
"Demam lo udah turun kak?" tanya Shella.
"Udah kok, tadi pagi gue langsung minum obat penurun demam, terus tidur sebentar."
"Seharusnya nggak usah masuk aja nggak apa-apa."
Inginnya sih begitu, gue ingin merebahkan badan, istirahat untuk sehariiii saja di weekday. Tapi, gue malas untuk sekedar jalan ke klinik terdekat, meminta surat izin sakit, dan di kost pasti nggak ada yang gue kerjakan. Juga, jika gue hari ini nggak masuk, gue hanya akan menumpuk pekerjaan atau gue membebani orang lain dengan pekerjaan gue yang lain.
Karena keterlambatan gue ke kantor hari ini, gue juga harus membayarnya dengan pulang lebih terlambat daripada yang lain. Di ruangan ini hanya tersisa lima orang, termasuk gue, Shella, dan ketua divisi. Divisi gue memang terkenal dengan ke-hectic-annya. Karena harus mengurus kinerja produk yang dirilis serta merangkap keuangan.
Kepala gue sudah berasap sepertinya, gue mengikat rambut gue tinggi-tinggi. Dan gue membutuhkan teh hangat!!!
"Shel, lo mau kopi?" tawar gue padanya.
"Boleh kak, gue aja yang bikin, lo apa? Teh ya?"
Shella hendak berdiri, tapi gue menghentikannya, "Gue aja yang ke pantry."
"Thank you, baby."
Gue melewati ruangan-ruangan divisi lain, lampunya sudah padam semua. Gue menghela nafas berat... Kenapa gue harus masuk divisi ini? Divisi yang selalu menanggung beban perusahaan. Ya... meskipun gaji di divisi gue sedikit lebih besar dibanding divisi lain, tapi tetap saja, gue ingin lebih leluasa menikmati waktu gue di usia dua puluhan ini dengan melamun sepanjang hari.
"Permisi." Suara berat seseorang terdengar masuk ke dalam pantry.
Gue sedang mengaduk kopi untuk Shella menoleh. Dan untuk beberapa detik gue menyipitkan mata gue, merasa kenal dengan orang yang baru saja masuk. Lelaki itu pun sama terkejutnya, dia menggantungkan jarinya yang menunjuk ke arah gue, kedua matanya membelalak kaget.
"Mika?!" tanya gue memastikan, "Beneran Mika?"
"Ayunda?"
Gue meletakkan gelas kopi ke atas meja, menerima jabatan tangan Mika yang sudah terulur sebelumnya.
"Jadi ini pegawai mutasi dari kantor Surabaya?"
Gue menutup mulut gue nggak percaya, saking kagetnya melihat sesosok Mikhail Kharisma di hadapan gue lagi.