Gue nekat untuk izin pulang lebih cepat, meskipun pekerjaan gue sudah selesai, beruntung pak Bayu mengizinkan gue pulang lebih dahulu. Setelah itu, gue langsung melipir ke rumah mbak Saras, menangis di pelukannya. Gue menceritakan apa yang terjadi pada gue dan Aga semalam, gue berpikir bercerita pada mbak Saras mungkin bisa menjawab apa yang ada di kepala gue.
Baik itu keinginan, keraguan, dan ketakutan yang selama ini selalu membayangi.
Shella juga bilang dia akan menyusul setelah dia pulang dari Tangerang. Dan sekarang dia sudah datang, tepat saat mbak Saras masih mengusap punggung gue lembut dan gue yang masih menangis tersedu-sedu.
"Jadi, kamu takutnya kenapa, Yu?" tanya Mbak Saras.
Gue semakin menyembunyikan wajah gue di bahunya, "Ba-banyak mbak, aku takut banyak..."
"Jadi lo tuh sebenernya mau balikan sama mas Aga atau nggak sih, Kak?" Suara Shella terdengar sangat ketus, hingga mbak Saras harus mengingatkan Shella agar menjaga intonasinya.
"Lagian dia jadi orang plin-plan banget, mas Aga udah ngasih kepastian masih aja.... mikiiiirrr terus. Mikir aja tuh sampe rambut lo ubanan."
"Shella..."
Tangisan gue semakin menggila di bahu mbak Saras, kali ini usapannya beralih ke rambut gue. Mbak Saras mendorong gue pelan, melihat wajah gue yang sudah sangat kacau penuh dengan air mata, bibir yang melengkung ke bawah sempurna, dan mata yang gue yakin sudah sangat bengkak.
"A-aga mau balikan, ta-tapi dia juga mau serius huhuhu... dia mau ni-nikah sama aku."
Kedua ibu jari mbak Saras bergerak untuk menghapus sisa air mata yang ada di pelupuk mata, lalu merapikan anak rambut gue yang juga berantakan.
"Bagus dong, Yu, Aga mau serius sama kamu."
Gue sesenggukan sebelum menjawab, "Gimana sama keinginanku mbak? A-aku mau lanjut ma-magister... Lagi siapin daftar beasiswa. Kalaupun aku te-terima, Aga harus nunggu huhuhu... Dua tahun lebih mbak huhuhu.... A-aku egois ya mbak?"
"Nih... Tissue." Shella menyodorkan tissue pada gue, "Lap dulu tuh ingus lo. Malu sama kecantikan mbak Saras."
Gue mengusap seluruh wajah dengan tissue, nggak lupa hidung gue juga yang sudah basah. Mbak Saras mengusap bahu gue pelan. Sedangkan Shella duduk di hadapan gue, menikmati pemandangan gue yang menangis jelek seperti ini. Gue sudah tahu dia pasti sempat memfoto muka gue, yang nanti akan dia kirimkan ke Ajun.
"Dibilang egois sih nggak, Ay. Nikah itu bukan sekedar kamu gimana jalanin hari berdua. Nikah itu menurutku pilihan, itu yang aku bilang ke mas Sandi dulu. Kedengarannya aku kaku banget dan nggak punya perasaan ya ke mas Sandi? Tapi, emang begitu. Aku lebih mikir nikah itu adalah pilihan terbesarku dengan mas Sandi. Terlepas dari perasaan kami, tapi perasaan itu bisa berubah, Ay. Tapi, ketika kamu sadar ini adalah hal yang kamu pilih, you can do nothing but keep doing it and living your marriage life as you should." Jelas mbak Saras sambil tersenyum manis.
Air mata gue kembali jatuh, meskipun kali ini nggak ada bonus sesenggukan yang bikin sesak.
"Aku akuin sih, nikah itu sulit, Yu. Sulit banget. Jadi, kusaranin kamu lakuin dulu hal yang kamu mau selagi masih bisa. Karena saat kamu dan Aga nanti memutuskan buat menyelamkan diri kalian ke dunia pernikahan, harus banyak yang kalian tinggal di darat. Meskipun banyak orang yang bilang kalau menikah nggak akan menghalangi hal-hal yang ingin kita capai, tapi kenyataannya menikah itu kan untuk dua orang, dimana sekarang pencapaian kalian harus melibatkan satu sama lain."
Gue hanya bisa memandangi mbak Saras dengan tatapan nanar.
"Tapi, tergantung bagaimana kamu dan Aga nyikapin ini. Ngobrol dulu aja, bicarain gimana enaknya. Apa dia mau nunggu selama itu dan mau LDR? Dan omongin juga keinginan keinginan dia yang mungkin kamu juga bisa ngerti. Aku yakin Aga orang yang respectful, dia pasti ngerti kok."