Mata gue masih mengerjap satu kali- dua kali- dan ini hampir yang ketiga kalau saja gue nggak sadar Ibu Aga sudah berdiri di sana menunggu gue untuk mempersilakannya masuk.
"Lho... kok ada Ayunda di sini?"
"Eh- Iya bu..." Gue mencium tangan ibu terlebih dahulu, lalu menyingkirkan badan gue dari pintu agar nggak menutupi jalan Ibu untuk masuk.
"Aga ada?"
"Ada bu, lagi di kamar."
Dan Aga baru saja keluar ketika gue sudah menutup pintu.
"Siapa yang dateng, Ay- Loh, Ibu?!"
"Hmm... Hayo udah balikan ya kalian kok nggak bilang-bilang sih?"
"Ng-nggak kok bu."
Gue melirik Aga, agar segera menjelaskan pada ibu, dia hanya mengangguk sekali, tapi nggak segera bicara. Aduh... jelasin, Ga, takut ibu salah paham.
Gue berlari kecil untuk menyamakan posisi dengan ibu, "Sini bu, biar Ayunda bantu bawa." Meminta barang bawaan yang ibu tenteng sejak tadi.
"Ibu kenapa tiba-tiba ada di sini? nggak ngabarin Aga dulu. Dateng dari Lembang ke Jakarta naik apa Bu? Sendiri? Kenapa nggak minta jemput aja?"
Runtutan pertanyaan dari Aga keluar. Ibu duduk di sofa, sedangkan gue hanya bisa melihat dari pantry Aga sedang menyerang ibunya dengan pertanyaan itu.
"Mas mu yang nganterin ibu, katanya sekalian ada apa itu- rapat konsulen? Itulah... ibu ndak ngerti. Memang mas mu ndak kasih tahu? Kata mas mu kamu belum nengokin dia. Masa sama sodara sendiri belum saling ketemu."
"Belum, Bu. Aga sendiri kan baru aja balik dari Makassar. Lagian bang Gibran juga bilangnya nanti aja dia masih sibuk di RS baru. Bang Gibran nggak ngomong kalau ibu mau dateng hari ini." Jelas Aga, menemani ibunya mengobrol di sofa.
Gue jadi kikuk sendiri harus apa. Posisi gue juga sedikit terpojok karena serba salah, kalau gue ikut nimbrung, nanti ibu makin membahas hubungan kami dan kenapa gue bisa ada di sini.
"Ya bagus to mas mu ndak ngomong, jadi kamu ndak ngumpetin Ayunda kayak gini. Hayo diem-diem balikan kok ndak ngomong ke ibu lho, Ga."
Keempat mata itu langsung terarah pada gue. Saking salah tingkahnya gue hanya membalas dengan cengiran kaku dan tangan gue yang melambai-lambai, membantah pernyataan ibu tadi kalau gue dan Aga nggak balikan sama sekali.
"Emang nggak balikan kok bu hehe." Gue akhirnya angkat bicara.
"Ndak balikan kok rambutnya basah? Ayunda habis keramas ya?"
Astaga gue baru sadar, sedari tadi gulungan handuk yang membungkus rambut gue masih ada di atas kepala. Malu banget... gue melesat masuk ke kamar Aga saat ibu dan Aga nggak melihat. Merutuki diri gue sendiri kenapa bisa lupa, takut ibu jadi salah sangka huhuhu.
"Bu, Ayunda lagi numpang mandi soalnya air di kostnya mati. Kasian dia belum keramas tiga hari."
"Yo ndak apa-apa, tapi inget lho, kalian jangan macem-macem dulu sebelum nikah."
Suara ibu dan Aga masih terdengar dari kamar. Sedangkan gue masih panik sendiri, melepas handuk yang ada di kepala dan rambut gue masih basah rasanya nggak etis aja keluar kamar seperti ini.
Hair dryer... hair dryer... gue butuh hair dryer milik Aga, tapi dimana? Dia bilang di laci buffer juga nggak ada saat gue cari tadi. Masa harus cari di kamar sih? Nggak sopan banget harus obrak abrik kamar orang lain.
Ayunda pintar! Di dekat meja kerja Aga ada kipas angin kecil. Gue langsung duduk di kursi meja kerjanya, mengarahkan kepala gue dan menyalakan kipas angin itu untuk mengeringkan rambut.