Mungkin benar perkataan Shella, sikap gue terhadap Mikha terlalu menimbulkan pertanyaan bagi semua orang. Setelah gue pikir lebih jauh, apa yang gue lakukan pada Mikha memang nggak pantas untuk disebut sebagai sekedar hubungan kolega. Ditambah mereka selalu berbicara tentang desas-desus gue dan Mikha adalah sepasang kekasih. Atau nggak mereka yang meledek Mikha karena bisa-bisanya pacaran dengan perempuan yang lebih tua.
Memang ya mulut manusia itu kalau nggak diatur, bisa menyebarkan hal aneh yang nggak benar.
Gue sudah berusaha untuk nggak berhadapan dengan Mikha. Pulang lebih cepat, atau jika Mikha ke meja gue untuk menawarkan tumpangan gue akan beralasan ada urusan mendadak atau sedang ingin pulang naik transportasi umum.
Saat istirahat pun gue pasti sudah melipur duluan ke kantin, atau memilih tempat makan yang nggak biasa dihampiri Mikha.
Pesan dari Mikha pun nggak gue gubris, atau jika ada pertanyaan penting seputar pekerjaan hanya gue balas dengan singkat, tanpa ada embel-embel apapun.
"Ayunda, nanti kalau sudah diprint laporannya, tolong difotocopy sepuluh bundel ya untuk meeting besok." Pak Bayu berujar tiba-tiba, mengintip ke dalam kubikel gue.
"Baik pak."
Sudah jam tujuh malam dan pekerjaan gue hampir selesai. Karena besok ada meeting final report dan divisi gue kewalahan mengatur laporan akhir bulan.
Gue menuju copy room untuk menyalin lembar yang pak Bayu suruh. Rasanya mata gue sudah nggak kuat dan gue sudah menguap sekitar sepuluh kali sejak yg sore tadi.
Baru saja lembar gue selesai disalin, tiba-tiba Mikha masuk dengan setumpuk kertas ditangannya. Penampilannya nggak kalah berantakan, kemeja putih yang dia pakai sudah terlihat agak kusut dan kedua lengan kemejanya di gulung sampai siku.
Gue berdehem canggung, segera merapikan kertas. Buru-buru gue tersenyum pada Mikha dan kaki gue hendak melangkah keluar, namun tangan Mikha menahan salah satu tangan gue.
Badan gue berbalik, berhadapan dengan Mikha. Dan lelaki itu menarik gue agar berdiri di hadapannya, bersender di mesin fotocopy, tangan Mikha mengambil alih kertas yang baru saja gue salin ke meja di sebelahnya.
"Kamu ngehindar dari aku?" tanyanya dengan nada suara lembut.
"Enggak, Mik..."
"Aku ada salah sama kamu?"
"Nggak ada, Mikhaaa..."
Mikha memegang kedua bahu gue erat, "Kenapa kalau ketemu aku kamu kayak menghindar?"
Gue menggigit bibir bawah gue, bingung menjelaskan bagaimana pada Mikha. Maksudnya... gue juga ingin Mikha nggak salah paham dan menganggap kalau gue terlalu pede dengan sikap dan kebaikan dia.
"Aku... lagi sibuk aja mungkin, Mik? Dan timing kita selalu nggak pas waktu ketemu, jadi ya gitu..."
Alasan yang sebenarnya nggak masuk akal. Gue sedikit meringis canggung, sedangkan Mika menghela nafasnya yang terdengar berat.
"Ini bukan karena aku ngelakuin suatu kesalahan kan?"
Kepala gue menggeleng, meyakinkan Mikha kalau ini bukan salah dia. Nggak ada yang salah sama kamu, Mik. Ini hanya aku yang pusing sendiri dengan omongan orang-orang tentang gimana mereka bikin nama kamu jadi bulan-bulanan anak kantor.
Gue kira Mikha akan melepaskan pegangan pada bahu gue. Nggak... Dia justru malah menatap mata gue lekat-lekat, hingga gue berusaha mundur, sayangnya nggak bisa karena ada mesin foto copy di belakang gue. Mika memajukan wajahnya dan gue tahu apa yang akan dia lakukan. Gue memalingkan wajah gue, nggak bisa melanjutkan apa yang Mikha inginkan.