Pesan dari Shella di tengah gue menunggu MRT, membuat kaki gue melangkah lebih cepat sejak turun dari kereta. Gue takut ada urusan besar di kantor yang melibatkan divisi gue. Padahal report kemarin yang sudah gue serahkan sudah nggak ada masalah. Dan hand out yang dikeluarkan juga sudah sesuai.
Saat kaki gue baru berpijak di lantai lobby kantor, mata semua orang terarah pada gue. Gue kebingungan setengah mati, mengingat-ingat apakah gue melakukan hal nggak terpuji di kantor ini? Jantung gue pun berdetak nggak karuan, ada rasa takut sedikit dan berandai-andai hal yang nggak baik.
Di lift pun juga begitu, semua orang di sana menatap gue seolah gue melakukan suatu hal yang membuat gempar.
ADUH INI KENAPA SIH... Kenapa lama banget untuk sampai di ruangan!!!
Gue keluar dengan tergesa ketika sudah sampai, nggak peduli dengan pandangan orang-orang lagi.
Di ruangan juga nggak jauh beda... semua orang sama saja, memandang gue dari atas sampai bawah. Kenapa sih? Gue salah pakai makeup? Baju gue ada yang robek? Rok yang gue pakai salah? Sepatu gue terbalik?
Nggak ada apa-apa semuanya normal!
Gue melewati meja Shella, dari matanya dia menyuruh gue segera duduk. Gue menuruti perintahnya, meletakkan tas gue di atas meja, mengambil nafas gue beberapa kali untuk berusaha tenang.
"Lo jangan buka chat group yang ada bu Maria." Ujar Shella.
Ponsel yang sedaritadi gue pegang langsung gue cek. Di kantor memang gue ada dua grup satu grup yang ada jajaran direktur dan satu grup hanya kami karyawan-karyawan untuk bercanda, meskipun gue nggak pernah nimbrung.
Sialan!
Berkali-kali gue merutuki isi grup chat tersebut.
Rumor gue dan Mikha berpacaran baru saja tersebar.
"Apaan sih ini Shel, kok bisa kayak gini?"
Dan nggak lama banyak chat yang masuk, menanyakan pada gue apakah berita yang tersebar benar apa nggak.
1
2
3
4Chat itu nggak berhenti.... Kenapa mereka sampai heboh banget dengan hal begini? Gue dan Mikha hanya nonton bioskop seperti biasa.
Satu chat lagi muncul di grup, menyertakan bukti foto saat gue dan Mikha sedang mengobrol di depan teater, menunggu pintu dibuka.
Gue mengacak-acak rambut, bingung apa yang harus gue lakukan untuk menghadapi ini.
"Diemin aja kak kalau lo emang nggak bisa jelasin sekarang."
Keputusan gue memang kekanakan, tapi gue menonaktifkan handphone segera, karena saking banyaknya chat yang masuk dan nggak bersangkutan dengan pekerjaan. Hanya orang-orang kantor yang kepo dengan urusan pribadi gue dan Mikha.