08.

518 70 1
                                    

Mbak Saras segera menyuruh gue pulang setelah gue membantunya untuk membereskan resto. Meskipun mbak Saras punya banyak staff untuk membereskan sisa-sisa setelah acara barusan, tapi tetap saja gue merasa mereka kekurangan orang untuk meng-handle tempat yang agak berantakan ini.

Hitung-hitung gue berterima kasih juga pada mbak Saras sudah digratiskan hidangan hari ini, ditambah dia membawakan bingkisan untuk gue bawa pulang. Untuk membantu cuci piring juga gue nggak akan keberatan.

"Pulang aja, Ay, udah malem banget tuh." Ucap mbak Saras.

Gue melepas apron dan menggantungnya di tempat semula, melihat jam yang melingkar di tangan gue. Sudah pukul setengah dua belas malam.

"Aku suruh mas Sandi anterin kamu aja ya."

"Nggak apa-apa, mbak. Aku pesen taksi online aja."

Mbak Saras mengambilkan tas milik gue yang sengaja gue letakkan di sebelah rak untuk piring.

"Bahaya banget loh, Ayunda. Yuk, mas Sandi lagi di depan, biar aku bilang buat anterin kamu sampe kost."

Sebenarnya gue juga agak takut sih, apalagi jam segini pasti jalanan sudah mulai sepi. Kalau pesan taksi online juga nggak menjamin apakah gue mendapat pengemudi yang baik atau justru kebalikannya. Dulu, bunda suka mewanti-wanti agar gue selalu mengirim screenshot plat nomer transportasi online yang gue naiki, karena nggak jarang berita yang menyampaikan kejahatan yang dilakukan oleh suatu oknum.

Waktu itu sih gue rajin mengirim nomer kendaraan ke Aga. Tapi, setelah kami putus gue nggak pernah lagi melapor pada siapapun kalau gue sedang berpergian sendiri. Dan untuk sampai sini, mungkin jika gue hilang mereka nggak akan bisa menemukan jejak gue sama sekali.

Mbak Saras berjalan menuntun gue sampai depan resto untuk meminta mas Sandi mengantar gue pulang.

Langkah gue dan mbak Saras berhenti bersamaan ketika melihat mas Sandi nggak sendiri, sedang merokok berdua dengan Aga di luar.

Padahal tadi dia dan teman-temannya sudah berpamitan pulang, segera setelah acara selesai. Kenapa dia masih ada disini?

Aga langsung mematikan rokoknya ke dalam asbak, meneguk americano yang ada di tangan kanannya.

"Loh, Aga belum pulang?" tanya mbak Saras.

"Belum, mbak." Jawab Aga singkat.

"Mas, anterin Ayunda pulang nih."

"Ini lho, Ayunda udah ada yang nungguin." Mas Sandi merangkul pundak Aga.

Mata gue mengedip berkali-kali, melihat Aga dan mbak Saras secara bergantian.

Mbak Saras tahu keadaan gue yang masih canggung dengan Aga, dan dari sorot matanya seperti bertanya 'nggak apa-apa kan?'

Gue langsung menghela nafas secara tersembunyi dan mengangguk pada mbak Saras. Dan dari raut wajah mbak Saras yang terlihat lega, dia melepas rangkulannya dari pundak gue dan mendorong gue pelan untuk berdiri di sebelah Aga.

"Eh, bentar, Ga, pesanan lo belum jadi kan?" tanya mas Sandi.

Tiba-tiba seorang karyawan reso membuka pintu, menyerahkan cup holder yang berisi dua gelas..... apapun itu gue nggak tahu isinya apa. Mungkin americano yang akan Aga minum untuk menemaninya bekerja.

"Gue pamit dulu ya, Mas, Mbak. Semoga restonya sukses."

Aga melambai pada mas Sandi dan mbak Saras, lalu berjalan duluan tanpa mengajak gue untuk mengikutinya. Mau nggak mau gue mengikuti dia dari belakang, dengan pemandangan punggung Aga yang terlihat semakin lebar dari sebelumnya.

heroine of youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang