Suasana di rumah Gibran menjadi ramai semenjak kedatangan Aga dan Ayunda. Ditambah Ayunda yang langsung akrab dengan Gema, anak dari Gibran dan Tari.
Bahkan semenjak Ayunda datang, entah darimana asalnya, Gema langsung meminta gendong oleh Ayunda. Sekarang mereka sedang duduk di sofa, sambil bermain permainan membentuk clay, ditemani Tari tentunya.
Gibran dan Aga sedang duduk di meja makan, memperhatikan mereka bertiga yang sangat asyik.
"Udah cocok tuh kayaknya momong anak." Canda Gibran pada Aga dan yang dimaksud disini adalah Ayunda.
Aga hanya bisa tertawa kecil, lalu menyesap sedikit kopi hitam buatan mbak Tari.
"Dia belum siap." Jawab Aga singkat.
Senyumnya semakin nggak bisa ditahan ketika melihat mbak Tari yang ingin menggendong Gema, tapi ditolak, Gema justru langsung merangkak dan memeluk Ayunda. Enggan kembali pada mamanya sendiri.
"Emang udah lo omongin?"
Aga mengangguk singkat, pandangannya beredar pada ruang tengah rumah Gibran yang memajang foto-foto pernikahan mereka.
"Sedikit."
"Terus?"
"Ya gitu, belum mau. Masih ada yang mau dilakuin. Masih banyak takutnya."
Gibran mengangguk angguk paham, dia merasa familier dengan situasi ini, "Sama kayak Tari dulu."
Aga menunduk, memandang gelas kopinya yang sudah kosong setengah.
"Lo sendiri gimana? Mau nunggu?"
Aga mengangguk mantap. Sesekali mengintip Ayunda yang baru kali ini tertawa bebas, karena berhadapan dengan Gema.
"Yakin?"
"Nggak ragu sama sekali gue. Emang maunya sama dia. Gimana?"
"Bucin banget lo dari dulu." Gibran menonjok pelan bahu kiri Aga.
Bagaimana tidak, Gibran sudah menyaksikan adiknya itu berpacaran hanya dengan satu cewek semenjak kuliah hingga sekarang umurnya hampir beranjak 26 tahun. Sampai rasanya merasa bahwa kehidupan Aga tanpa Ayunda itu bagai puzzle yang kehilangan bagiannya. Alias nggak lengkap.
"Susah banget lepas dari dia. Waktu putus juga gue langsung stress banget. Padahal emang gue yang tolol sih waktu itu."
"Hubungan nggak ada jauhnya emang nggak seru, Ga. Jadi kan lo paham, mau seberapa lama lo sama dia, emang nggak bisa jauh. Ya ujung-ujungnya balik lagi ke orang yang sama."
"Masa harus jauh dulu? Iya kalo balik lagi. Kalo enggak? Bahaya lah."
"Haha bukan gitu maksudnya. Ya pasti selalu ada masalahnya. Cuma ya gimana cara lo menangani masalah lo sama Ayu. Tapi, gue akui sih cara lo emang agak bego."
"Sialan."
Sebenarnya Aga nggak setuju dengan pernyataan Gibran. Menjauhkan diri dari masalah sebenarnya nggak menyelesaikan semuanya. Dan itu terbukti ketika mereka renggang satu tahun yang lalu. Kalau saja Aga akhir-akhir ini nggak memulai pergerakan lagi pada Ayunda. Nggak mungkin bisa melihat Ayunda sedekat ini lagi. Nggak mungkin terlintas ucapan untuk mengajak Ayunda hidup dalam jenjang yang lebih serius.
Ah... Tapi, Aga begitu tersiksa dengan keputusan gegabah dan sepihaknya itu. Nggak lagi-lagi dia memikirkan hal aneh di tengah kesibukan dan hecticnya pekerjaan. Pikirannya menjadi nggak jernih.
"Foto-foto wisuda lo yang ada Ayunda juga masih dipajang sama ibu. Belum diturunin sama sekali. Beliau berharap banget lo bisa balik ke Lembang lagi sama Ayunda. Sampe tiap lagi liatin fotonya, ibu sampe berdoa 'Semoga Ayunda mau kesini lagi', disayang banget."