34 : Kampung Halaman

74 22 0
                                    

Hai, sesuai janji. Aku up hari Minggu. Maaf banget ya hari Kamis aku nggak up, bener2 mood aku turun bgt buat nulis ini.

Jadi jangan malu2 buat vote dan komen ya, biar aku semangat lagi. Makasih yang sudah mampir 🙏

___________________________________________

Ayu sudah menapakkan kaki di tanah Sidoarjo. Setelah hampir dua puluh jam ia berkendara di kereta api sampai Surabaya, lalu menyambung dengan bus menuju rumah eyangnya.

Begitu turun dari bus, rasa syukur hinggap di hati Ayu. Kedua kakinya terasa kaku karena tidak bisa berselonjor semalaman. Belum lagi badannya lengket karena kereta api yang panas, dan saat malam ada yang mengeluh sakit dan kedinginan sehingga kipas yang hinggap di langit-langit kereta terpaksa dimatikan.

Ini bukan kali pertama Ayu naik kereta. Sudah beberapa kali, mereka naik kereta untuk pulang ke kampung halaman Susanto. Namun kali ini berbeda. Biasanya Ayu bersemangat untuk pergi ke Sidoarjo, untuk melepas sejenak kepenatan kota Jakarta. Namun sekarang, ia sama sekali tidak bersemangat. Hidupnya terasa hampa, tanpa tujuan dan cita-cita.

Rumah bernuansa putih, dengan hiasan batuan alam berwarna hitam, menjadi tempat Susanto dibesarkan. Wanita berambut panjang, bermata sipit dan juga pria tinggi bermata sipit, menyambut kedatangan mereka. Meskipun mereka sudah berusia lanjut, namun mereka masih terlihat bugar.

"Ama, Akung," sapa Ayu. Gadis itu menyalimi kakek neneknya.

"Aduh, pasti kalian capek ya. Ayo masuk dulu. Kasian Ayu. Ama sudah masak untuk Ayu. Ayo masuk," ucap si nenek.

Sambil berbincang-bincang melepas rindu, kelimanya masuk ke dalam rumah. Mereka bergantian untuk membersihkan diri. Setelahnya, mereka berkumpul lagi di meja makan.

"Ama senang kalian kembali ke Sidoarjo. Susanto ini kan anak satu-satunya. Jadi Ama senang sekali, bisa lebih dekat dengan Ayu sekarang."

"Jadi kamu mau lanjut bikin usaha di sini, To?" tanya Akung kepada Susanto.

"Iya, Bu. Mungkin tidak sebesar di Jakarta. Karena kondisi keuangan kami terbatas."

"Lanjutkan saja tokoku," ucap Akung. Akung memang sama seperti Susanto, ia memiliki toko elektronik di pasar.

Susanto menggeleng, "Nggak, Yah. Itu kan sumber penghasilan Ayah."

"Ayahmu ini sudah tua, jadi suatu saat nanti, cepat atau lambat, toko itu akan jadi milikmu. Sama saja kan."

Susanto terdiam sejenak, "Biar aku pikirkan dulu."

"Ama, boleh Ayu pinjam telepon setelah sarapan? Tapi untuk keluar kota," tanya Ayu.

Ama mengangguk setuju, "Iya, boleh. Siapa? Pacar kamu di Jakarta ya?"

Tepat sekali. Ayu mengangguk malu-malu untuk menjawab pertanyaan Ama.

Setelah sarapan, Ayu mencuci piring dan membantu membereskan bekas meja makan. Kemudian gadis itu menuju pesawat telepon, dan mulai menekan kode area 021, lalu 7 angka yang mengikuti di belakangnya. Deretan nomor yang dapat menghubungkan Ayu dengan Ari.

"Halo?" sapa orang di ujung telepon.

Ayu mengenali suara bariton itu. Suara kekasihnya, Ari. "Ari, ini Ayu."

"Kamu sudah sampai rumah nenek kamu?"

"Iya tadi pagi, aku meneleponmu setelah sarapan."

"Ah begitu. Aku lega kamu dapat sampai dengan selamat."

Keduanya banyak bercerita. Terlebih Ayu, pengalaman naik keretanya, dengan kondisi yang sangat gerah. Suara Ari yang menanggapi semua kisah Ayu. Suara Ari yang ceria membuat gadis itu kembali bersemangat.

KITA DI ANTARA REFORMASI ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang