39 : Restu

113 30 0
                                    

Hai, apa kabar. Aku lagi semangat mau tamatin cerita ini. Jadi aku up lebih cepat. Mudah-mudahan hari Minggu aku bisa up ya.. Soalnya mau pulang kampung, belum tahu bisa nulis apa enggak..

Silakan dibaca, jangan lupa vote yaa. Makasih banyak..

Siapkah chapter terakhir?? 🥰
___________________________________________

Setelah mendapatkan alamat rumah nenek Ayu. Ari bergegas masuk ke kamarnya. Ia mengambil celengan bentuk ayam yang sudah dikumpulkan sejak sekolah. Ia ke halaman belakang dan mengambil palu.

"Selamat tinggal, ayam. Makasih lo udah temenin gue beberapa tahun ini. Semoga isi lo berguna buat gue."

Prang!

Ayam yang berasal dari tanah liat itu sudah hancur berkeping-keping. Mengeluarkan seluruh isinya, antara uang kertas dan uang logam. Pemilik ayam memungut seluruh isi dan menghitungnya di tempat itu juga. Ari benapas lega, celengannya cukup untuk membeli tiket kereta pulang pergi.

Setelah kepingan ayam berhasil dibereskan dan dibuang. Ari bersiap pergi. Ayah dan Ibunya ada di rumah, ia akan meminta izin terlebih dulu pada orang tuanya.

"Ayah, Ibu. Ari minta izin. Mau ke Sidoarjo, bertemu Ayu."

Heri yang sedang menyeruput kopi, hampir tersedak cairan panas itu. "Bu, anak kita sehat kan? Dia nggak gila kan?"

Susi mengangkat bahu, "Mau apa kamu ke sana, Ri? Apa nggak bisa telepon aja?"

Ari menggelengkan kepala, "Ari mau merebut Ayu kembali. Ayu nggak boleh nikah sama orang lain."

"Ri, coba pikir baik-baik. Kalau memang pria itu jodoh Ayu bagaimana?" tanya Heri dengan sangsi.

"Nggak, Yah. Setidaknya Ari akan berjuang sampai akhir. Lagi pula Ari sudah mengambil uang di celengan, dan itu cukup untuk kereta pulang pergi."

"Ya sudah kalau itu maumu. Kapan berangkat?" tanya Heri.

"Sore ini. Ari mau ke stasiun sekarang untuk membeli tiket."

Heri dan Susi mengangguk bersama. Keduanya memberi restu perjuangan Ari.

"Tapi ingat ya, Ri. Jangan terlalu dipaksakan. Jika memang Ayu tidak bisa bersama kamu, ikhlaskan."

"Iya, Bu."

•••

Tas ransel hitam berada di pundak Ari. Di tangan kanannya sudah ada selembar kertas dengan alamat rumah nenek Ayu yang tertera di sana. Jam tangan Ari menunjukkan pukul 11 siang.

"Blok A, nomor 20. Betul ini," gumamnya.

Ari melihat sekeliling rumah bernuansa putih itu. Pagar hitam menyelimuti rumah itu. Ari mengusap dahinya yang berkeringat dengan sapu tangan. Ia harus terlihat sempurna, meskipun lelah karena semalaman naik kereta.

Setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya, ia mengetuk pagar rumah itu menggunakan kunci gembok yang terpasang.

Setelah mengetuk beberapa kali, akhirnya ada yang membuka pintu. Sosok yang Ari kenal, Retno.

"Selamat siang, Tante," sapa Ari.

Retno tidak dapat menutupi keterkejutannya. Kedua tangannya menutup bibirnya yang terbuka.

"Ari, kenapa bisa sampai sini? Astaga."

"Ayah! Ayah!" teriak Retno untuk memanggil suaminya, Susanto.

Susanto yang mendengar panggilan istrinya, segera berlari keluar. "Ada apa, Bu?"

Susanto juga terkejut dengan kedatangan tamunya. "Ya Tuhan. Ari."

KITA DI ANTARA REFORMASI ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang