Taruhan Yuk!

2K 178 17
                                    

Happy reading🐹
.
.
.

"Bang... " Jisung menarik-narik lengan baju pemuda di sampingnya, "nggak sengaja, bang." lanjutnya dengan tampang melas.

Yang diajak bicara hanya diam sedari tadi. Seperti biasa, Jaemin menyesal mengajak Jisung ikut dengannya. Andai saja di dunia ini ada tempat penitipan anak khusus untuk usia 10 sampai 20 tahun, mungkin Jaemin sudah membawa adiknya ke sana pagi-pagi sekali.

Jaemin mencabut kunci mobilnya. Sebelum turun, ia menatap wajah Jisung dan berkata, "Udah biasa!" kata Jaemin dengan huruf 'a' yang dipanjangkan. Ia melangkah cepat masuk rumah, meninggalkan adiknya yang masih duduk di dalam mobil.

Jisung mengusak kasar rambut pirangnya. Dalam keadaan seperti sekarang ini cuma satu yang ia ingat. Seseorang yang ia sayang, yang ingin sekali ia peluk.
Tangan lebarnya merogoh saku celana, mengambil ponsel dan coba menghubungi orang itu.

Nomor yang kamu hubungi se-

Tut

Lagi-lagi suara wanita itu. Jisung mendengus. Ia turun dari mobil menyusul sang kakak.

Tangannya menggenggam kenop pintu dan mendorongnya pelan hingga terbuka sedikit. Jisung melongok kedalam, mendapati abangnya duduk bersandar dengan memejamkan mata di sofa ruang tengah. Ia masuk dengan langkah gontai menghampiri Jaemin.

Jisung memberanikan diri duduk di samping abangnya. Jari telunjuknya menusuk-nusuk pelan pipi Jaemin sebelah kanan, "Abang ... " lirih Jisung, "abaang~" lanjutnya dengan sedikit bernada. Bagaimanapun juga mereka harus baikan, kalau tidak...

"Nggak usah pegang-pegang! Abang masih marah sama kamu. Masuk kamar aja sana!" seru Jaemin. Tangannya menekan-nekan cuping hidung. Kepalanya pusing memikirkan bagaimana caranya berbaikan dengan Selin yang kini telah memblokir kontaknya.

Kalau saja Jisung tidak ikut dengannya hari ini, mungkin sekarang Jaemin dan Selin sedang telpon-telponan seperti biasa. Membahas hal-hal random yang tidak penting. Asal bisa mendengar suara renyah Selin, buat Jaemin itu sudah cukup untuk obat penghilang rasa capeknya setelah seharian kerja.

"Dih, jan gitu kek ..." Jisung memegangi perutnya yang bunyi. Ia melangkah pelan menuju tangga di samping kamar mandi.
Belum sampai kakinya menapak anak tangga pertama, Jisung menoleh dengan cepat ke arah Jaemin sambil berteriak, "ABANG!"

Yang dipanggil terperanjat, menatap Jisung dengan mata membulat.

"Bikinin Indomie dong! Aku laper ...."

Jaemin mendengus, "Astaga ... JISUNG!" Tangannya memilah-milah bantal sofa, mencari yang paling pas untuk dilemparkan ke adiknya yang super menyebalkan itu.

Namun belum sampai bantal itu ia lempar, remaja yang memiliki tinggi badan 178cm itu lari terbirit-birit menaiki tangga sambil ngakak, "Huwaaa, abang kumat! Wkwkwk."

"Untung adek. Kalo bukan, udah gue anyutin di kali Angke lu! Biar aja dimakan buaya." kata Jaemin sambil meremas-remas bantal kecil berwarna merah maroon.

Jaemin yang masih kesal, kini mencoba mengatur nafasnya. Tangannya mengelus dada. Jaemin harus sabar. Ia memang marah, tapi tidak bisa marah lebih dari ini.

Tak lama kemudian, terdengar suara kenop pintu di dorong dari luar. Jaemin melirik kearah sumber suara.

"Kenapa lagi sih? Teriak-teriak sampe kedengeran dari luar ...."

Itu, suara berat pria yang sangat ia rindukan. Mata Jaemin berbinar. Sudut bibirnya ditarik lebar.

"Kenapa nggak bilang mau pulang yah? Aku kan bisa jemput" Jaemin menghampiri ayahnya dan memberi pelukan hangat. Rasanya mau nangis, tapi air matanya nggak bisa keluar.

Gara-gara Park Jisung || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang