Prasangka

508 46 46
                                    


"Kenapa, Mas?" tanya Jeein, bingung. Wajah pucat pasi pemuda di sampingnya berubah masam tiba-tiba.

"Chenle, temen sekolahnya Jisung" Ditaruhnya ponsel di kotak dekat kopling lalu kembali fokus mengemudi. "Ngabarin kalo Jisung masih di rumahnya. Abis ini, aku langsung jemput dia" sambung Jaemin.

Mendengar hal itu, membuat Jeein makin tak enak hati. Luka jahitan di kepala belum juga kering, tapi malah maksa mau mengantarnya pulang. Belum lagi berkendara saat kondisi tubuh sedang tidak fit begini, kan bahaya. Ia orang yang cukup tahu diri.

"Hmm.. a-aku pulang sendiri aja deh, Mas"

"Coba hubungin orang rumah, ada yang bisa jemput nggak?"

"Enggak, aku kan.. ngekos sendiri" kata Jeein sambil menggigit bibir bawahnya.

Sontak membuat Jaemin kaget, langsung menginjak pedal rem tiba-tiba. Tubuh mereka berdua sampai terdorong oleh gravitasi. "Lah, trus? Mau ngojek gitu maksudnya?!" tanyanya saat menoleh ke arah Jeein. Walau lampu di dalam mobil tak satupun ada yang menyala, Jaemin bisa melihat rekan kerjanya menganggukkan kepala sampai poninya ikut bergoyang. Sambil mendengus kesal ia berkata, "jangan aneh-aneh, dah! Kalo sampe besok kamu gak masuk gara-gara diculik genderuwo, aku yang repot. Gak! Aku anter aja!" tegasnya.

Bisa dibilang, ini kali kedua Jeein kena semprot sang senior. Jadi ingat upah bulanan Jaemin yang bakal dipotong gara-gara kecerobohannya. Karena kejadian itu, harusnya Jaemin mengabaikannya saja. Membiarkan Jeein pulang sendiri tengah malam begini. Itu cukup sepadan. Tapi Jaemin malah berbaik hati padanya. Atau jangan-jangan dia menaruh rasa? Perlakuan Jaemin yang gentleman membuat nona Jeein makin meleyot.

Jika dilihat-lihat, cara si rambut apel marah sama persis dengan pak kepala divisi. Lucunya, sikap Renjun di rumah sakit tadi malah seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dengan yang di kantor. Bak cerita di film-film yang pemeran utamanya bertukar kepribadian.

Omong-omong soal genderuwo, Jeein sebenernya nggak takut-takut amat, kok. Bertemu yang lebih seram juga sering. Hanya saja ia lebih memilih untuk manut apa kata pak supir.

Dinginnya malam, tak sebanding dengan kecanggungan mereka saat ini. Jaemin yang sedang menyetir, malah terus-terusan melirik ke kiri. Hatinya tak tenang. Jujur, ia takut kalau-kalau perkataannya tadi malah membuat Jeein merasa tidak nyaman. Terbukti, si cantik ini terus terpaku pada ponselnya sedari tadi sambil merapatkan bibir, membuat jantung Jaemin makin jedag jedug. Padahal maksudnya, baik. Mana tega membiarkan anak gadis orang pulang sendiri tengah malam begini. Apa jadinya kalau Jeein dan Renjun tidak menolongnya tadi, mungkin akan lain cerita. Ia jadi merasa berutang budi. Otaknya terus berpikir untuk mencari bahan obrolan yang tepat.

"Tadi di RS sempet makan?"

"Makan. Dibeliin Mas Jun"

"Oh.. " Mengangguk pelan. "Ngantuk nggak?" tanya Jaemin tanpa memalingkan wajahnya dari jalan raya. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu, kejadian hari ini sudah pasti membuat mereka berdua lelah. Terlihat dari kusutnya tampilan Jeein sekarang. Rambut acak-acakan, wajahnya pun polos tanpa riasan seperti tidak sempat memerhatikan dirinya sendiri.

"Hmm.."

"Tidur! Nanti dibangunin kalo dah deket"

"Iya"

"Mundurin joknya. Gagangnya di kiri, kamu tarik aja"

"Gagang? Mana?!" Tangan lentiknya meraba badan jok yang diduduki. "Ngga ada" kata Jeein sambil celingukan.

"Bentar" Jaemin memarkir mobilnya di bahu jalan lalu melepas seat belt yang dikenakan. Tanpa pindah dari duduknya, ia berniat untuk membantu menggeser sandaran kursi Jeein. "Maap" katanya. Masih tetap di posisinya sekarang, tangan kanan mencoba meraih tuas pengatur yang letaknya sedikit sulit untuk dijangkau. Sampai badan Jaemin hampir mengenai Jeein. Kini jarak mereka tak lebih dari sejengkal.

Gara-gara Park Jisung || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang