Pesan Cinta

553 60 17
                                    

Happy reading 🐹
.
.
.

Jaemin, berdiri. Menatap si kepala divisi  yang wajahnya memerah. Bahkan, urat lehernya sampai terlihat semua. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres.

Lirikan tajam Renjun yang mengarah pada Jeein membuat perasaannya tak karuan. Tanpa pikir panjang Jaemin langsung berkata, "Gue Mas Jun"

Sontak membuat seisi ruangan, kaget. Kini semua pasang mata tertuju padanya. Terutama Renjun. Menatap dari atas sampai bawah tubuh rekan kerjanya itu sambil berjalan mendekat.

"GOBLOK!" sergah Renjun, menatap nyalang mata si sulung keluarga Na. Kini seluruh emosinya seakan naik sampai ke ubun-ubun kepala.

"TOLOL LU JAE!! Udah berapa taun lu kerja di sini, masih goblok juga?!"

"S-sorry"

"Sorry.. sorry. Tai lah!" Renjun mendengus. Buru-buru ia menduduki kursinya sambil berkata, "Mending lu ke ruangan bos sekarang! Minta maap. Capek gua marah-marah mulu!!"

Deg

Jaemin meneguk ludah. Ia memang gegabah, mengesampingkan logika demi demi menutupi kesalahan si karyawan baru. Tapi jujur, ia juga belum siap dengan resiko yang harus dihadapi. Masuk ke ruangan bos saat ada masalah seperti ini sama saja setor nyawa ke kandang harimau.
Tanpa kata-kata, Jaemin pun melangkah menuju ruangan bos yang letaknya tak jauh dari ruang desain.

Mendengar pengakuan Jaemin barusan membuat dadanya sesak. Renjun, membuka kancing kemejanya yang paling atas. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa kakak Jisung itu tidak teliti saat bekerja. Renjun memang kecewa, tapi disisi lain.. ia tidak percaya.

"Kenapa sih, Mas?" tanya Siska penasaran.

"Salah ngirim format file ke vendor. Yang dikirim malah RGB. Hasil cetakan jadi gelap semua. Kan goblok. Gak lolos QC lah! Walopun kalo malem ketembak lampu LED, gue yakin ga bakal bagus keliatannya. Deathline udah mepet banget lagi. Duuh.." tutur Renjun lalu memijit tengkuknya yang kaku. "Siska. Gua sebutin harga, lu coba tolong itungin dah!" pinta Renjun.

"Bentar.." Buru-buru siska membuka software kalkulator di komputernya, lalu memasang telinga lebar-lebar, bersiap menerima instruksi dari Renjun. "Yuk, berapa Mas?"

"Le mineral order yang ukuran 5 x 10 meter. Dua muka"

"Ok, trus.."

"Mereka minta pake bahan flexi Jerman yang semeternya seratus lima puluh"

"Dikali seratus lima puluh ribu.."

"Dipasang di lima lokasi beda-beda. Jadi berapa, tuh?"

"HAH! LIMA BELAS JUTA MAS JUN" teriak Siska, melotot melihat angka yang keluar di layar monitornya.

"Nah, mampus dah tu bocah gantiin modal cetak lima belas jutaan. Alamat minum promag mulu dia sampe bulan depan."

Mendengar omongan para seniornya barusan membuat tubuh Jeein gemetar. Bagaimana kalau ternyata benar, Jaemin diminta menanggung ganti rugi sebanyak itu atas kecerobohan yang dibuatnya. Sepertinya ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

Rasa bersalahnya makin memuncak saat melihat Jaemin keluar dari ruangan bos, berlari menuju pantry dengan raut wajah yang kusut. Pemuda itu sukses membuat kaki Jeein lemas sejadi jadinya.

Mas Jae.. maaf

.
.
.

"Ehm.. makasih"

"Makasih buat?"

"Pas gua sakit kemaren, udah mau minjemin catetan"

"Oh.. okay"

Sepi. Sampah-sampah plastik yang sudah usang, berserakan di sekeliling mereka. Walau lebarnya tak sampai satu meter, gang buntu di samping sekolah itu menjadi saksi bisu betapa canggungnya kedua remaja yang sedang berdiri bersisian ini. Dua anak manusia yang tidak pintar merahasiakan perasaan, sedang sama-sama berdebar jantungnya.

"Kenapa suka pinjem catetan gue?" tanya Sunny, melirik Jisung di sebelah kanannya.

"Catetan lu.. rapi" jawab Jisung tanpa memalingkan wajahnya dari langit.

"Terus?"

"Iya, rapi.. enak dibacanya"

"Hmm... Itu aja?"

"Ehm.."

Sunny mendengus geli lalu berkata, "Oh.. iya ya. Rapi banget emang ya tulisan gue tu. Ya ampun, gue juga kadang-kadang heran kok bisa gue nulis rapi gitu. Padahal kan di buku paket juga udah ada ya, ngapain juga gue tulis ul-"

Cup

Sunny mematung. Matanya terbuka lebar. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Jisung tiba-tiba berbalik badan, berada tepat di depannya. Merendahkan tubuh tingginya dengan memiringkan kepala. Kini gumpalan gading lembut itu menempel tepat dibelah bibir Sunny.

Sunny mencoba menutup matanya. Wangi coklat mewah dan hangat dari kerah pemuda itu sampai tercium. Lalu muncul desiran aneh mengalir di sekujur tubuh. Tangannya mengepal, meremas rok abu-abu yang dikenakan.

Sungguh, Sunny bisa merasakan seperti sedang berada di dunia yang berbeda. Jisung seolah membawanya ketempat indah yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.

Udara seketika berubah hangat. Tidak ada lagi sampah, tidak ada lagi tembok sekolah yang penuh dengan coretan-coretan aneh. Yang ia rasakan hanyalah ketenangan.

Bukan hanya Sunny, Jisung pun tidak percaya dengan apa yang ia lakukan. Tubuhnya seperti tidak bisa dikendalikan. Apa mungkin ia kerasukan?
Kalaupun iya.. Jisung tidak menyesal. Ini adalah sebuah komunikasi nonverbal yang menyatakan seribu hal. Dan Jisung berhasil mengirimkan pesan di hatinya pada si manis.

"Please, tunggu bentar lagi. Tunggu urusan gue kelar dulu. Gue juga pinginnya kita bareng-bareng terus"

"Sampe kapan?"

"Gatau, ga bisa cerita sekarang"

"Bu Wendy, kan?"

Deg

"B-bukan"

"Terus apaaaaa?!"

Derrrttt Derrrttt

Ponsel Jisung bergetar di dalam saku celananya. Ia reflek mengangkat panggilan suara itu. Tidak banyak yang ia katakan, tapi sukses membuat Sunny berwajah masam. Si lesung pipit seakan tahu siapa yang jadi penyebab Jisung berubah sumringah tiba-tiba.

Dengan merapatkan bibir, Sunny pergi meninggalkan Jisung. Beberapa kali tangannya coba diraih si jangkung, namun si bendahara kelas sudah keburu pundung duluan. Ia berlari, pergi ke dunia nyata.

TBC
.
.
.

"Hatiku tersenyum saat kau mencium bibirku. Kejutan yang manis." - Jan Arden

Gara-gara Park Jisung || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang