Happy reading🐹
Komen kalo ada typo yah
.
.
."Jangan-jangan .... Kenapa nggak bilang kalo punya gebetan! Eh, tapi nggak mungkin, sih. Haish ... tau ah!" Chenle mendengus.
Jisung membuatnya penasaran setengah mati. Dengan tas gamblok hitam merk Nike dan bola basket di tangannya, Chenle mengendap-endap mengikuti Jisung dari belakang. Sesekali ia menempelkan dirinya ke tembok, ketika Jisung mulai tengak tengok. Jangan sampai sahabatnya itu tahu. Gengsi, lah!
Chenle terus mengikuti Jisung. Jaraknya sekitar dua puluh meter di belakang anak itu. Jisung yang tinggi, memudahkan Chenle menemukan sosoknya walau di dalam kerumunan banyak orang sekalipun. Matanya masih mengawasi.
Sepertinya dugaan Chenle salah. Kini Jisung berdiri di samping ruang guru sendirian. Terlihat Jisung sesekali menautkan kedua tangannya, di gosok-gosokkan dan meniupnya. Chenle tau anak itu gugup.
Satu sisi Chenle merasa lega karena ternyata kemungkinan besar, Jisung hanya ada perlu dengan guru di sekolahnya. Tapi yang membuatnya heran adalah ini kali pertama Jisung berani berurusan dengan guru sendirian. Seingat Chenle, anak itu tidak pernah mau berurusan dengan guru, kecuali Chenle ikut menemani. Jisung memang sepenakut itu.
Putra bungsu keluarga Zhong itu membulatkan mata, ketika dari jauh Bu Wendy terlihat menghampiri Jisung. Si tukang makan, seperti menyambut kedatangan guru cantik itu. Yang membuat Chenle lebih kaget lagi adalah Jisung mengusak kecil rambut depannya sekarang.
Wah minta diruqyah itu anak, batinnya.
Bola basketnya sampai lepas dari genggaman. Ia buru-buru menangkap bola itu dan langsung bersembunyi lagi. Gawat, itu bukan Jisung!
Chenle melihat mereka berdua seperti sedang membicarakan sesuatu. Entah apa itu, ia tidak tahu. Suara mereka tidak terdengar. Mengingat pesan Jisung di depan mading tadi rasanya agak aneh, pikirannya menebak-nebak lagi sekarang. Apa mungkin anak itu suka sama ....
Chenle lari masuk ke toilet di belakang, ketika tiba-tiba Jisung membalikkan badan lalu jalan bersama Bu Wendy menuju ke arahnya. Dari balik pintu toilet, Chenle sedikit melongok keluar, ia tidak boleh kehilangan jejak mereka. Sekarang nampak jelas raut wajah Jisung sedang cengar-cengir nggak jelas.
"Masuk ke situ mereka. Duh ... susul, apa jangan, ya?" Chenle bingung harus apa.
.
.
.Aroma kuat kopi robusta menyeruak, memenuhi setiap sudut ruang kantor. Dari wanginya saja Renjun bisa tahu, siapa yang menyeduhnya sore-sore begini. Kakinya melangkah menuju pantry, tempat di mana wangi itu berasal.
"Belom cabut, lu?" tanya Renjun. Ia mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang ada di dalam sana.
Renjun masih menikmati aroma minuman berwarna pekat itu. Ia memang menyukai wanginya, tapi tidak untuk diminum. Walau hanya menyeruput sedikit, minum kopi membuat jantungnya degdegan parah. Ia lebih memilih teh bunga chamomile sebagai pengganti.
Jaemin menggeleng pelan. "Belom, Mas Jun. Ngantuk ... ngopi dulu." Jawabnya lesu. Tangannya masih mengaduk-aduk cairan panas dalam cangkir putih di genggaman.
"Tumben, nggak jemput Selin?"
"Udah nggak, Mas." Jawab Jaemin lirih.
Renjun mengerutkan keningnya. "Putus lagi?"
Yang ditanya menganggukkan kepala. 'Putus lagi' entah keberapa kalinya Renjun mengatakan kalimat itu. Pikirannya seperti memutar ulang adegan demi adegan beberapa waktu lalu, saat adiknya tersandung, sampai Jaemin berkali-kali gagal meraih lengan Selin yang hendak pergi meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-gara Park Jisung || Na Jaemin
FanficSemuanya biasa saja. Sampai di mana, kehidupan Jisung mulai berubah ketika ia kalah taruhan dengan makhluk usil tak kasat mata. . . . "Kamu inget nggak, kapan terakhir kali call wa Abang?" "Hmm ... lupa. Udah lama banget" "Tadi pagi, nomor wa kamu n...