Selamat Membaca 🐹
.
.
."Kamu inget nggak, kapan terakhir kali call wa Abang?"
"Hmm ... lupa. Udah lama banget."
Jaemin menelan ludahnya lalu berkata, "Tadi pagi, nomor wa kamu nelpon Abang lagi."
Kata-kata Jaemin barusan, sukses membuat sang adik kehilangan kantuknya. Jisung membalikkan tubuh ke sebelah kiri, meringkuk memegangi lengan Jaemin dengan erat. Ia ingat betul, setelah kejadian kaos kaki abangnya yang hilang sebelah, musibah beruntun datang menimpa mereka. Panggilan telepon itu seperti pertanda buruk.
"Bang, a-aku ... takut" Suara Jisung bergetar. Jemarinya meremat-remat lengan Jaemin.
Jaemin mendengus. Kini ia bisa merasakan lengan kaosnya mulai basah. Diusapnya pelan rambut sang adik sambil berkata, "It's okay, Dek. Nggak papa. Yang penting, mau keluar rumah tu, doa dulu. Kalo lagi nggak sama Abang, minta temenin Lele terus. Nggak boleh sendirian, ya!" pintanya.
Dalam situasi seperti ini, si bungsu lebih bisa menunjukkan rasa takutnya. Tapi percayalah, Jaemin lebih takut dari pada siapapun sekarang. Tidak hanya menghawatirkan dirinya dan sang adik, ia juga memikirkan ayahnya yang jauh di sana.
Berpura-pura tegar, sudah menjadi kewajibannya sejak dulu. Jaemin sungguh butuh pegangan, tapi pada siapa?
.
.
.Jilan. Entah siapa yang memulai, tapi panggilan baru itu seakan resmi menjadi milik Jisung sekarang. Beberapa siswi SMA 112 meneriaki nama 'Jilan' begitu remaja tampan itu memasuki gerbang sekolah. Yang dipanggil cuek saja. Tidak merasa.
Jaket hitam berlogo garis tiga dan topi menjadi penyempurna tampilan Jisung hari ini. Ia melangkahkan kaki menuju kelasnya dengan tertunduk malu.
Makin hari, makin banyak saja murid-murid yang menyapanya. Hampir 90% dari mereka tidak ia kenal. Penggemar Jisung kebanyakan berdasi garis satu.
Sesampainya di kelas, remaja kelahiran Bandung ini terbelalak melihat mejanya di penuhi dengan setumpuk jajanan. Pocky, Bengbeng, Silverqueen dan beberapa surat tergeletak di atas sana.
"Punya siapa, Le? Kok ada di meja gue." tanya Jisung pada teman sebangkunya yang sedang asik mengunyah Bengbeng.
"Gak tau. Kayaknya sih, buat lu. Tuh liat, ada suratnya segala."
Ia mendudukkan diri di kursi. Tangannya mulai membuka satu persatu lipatan kertas yang hampir semua warnanya merah muda.
Dear Kak Jisung. Kenalin, Aku Eunbee dari kelas 10B. Ini Silverqueen buat kak Ji. Moga suka yaa. Have a nice day...
To : Jilan Oppa
Aku Lea, kita sering papasan loh--Saranghe--
Astagfirullah, batinnya
Jisung melirik teman sebangkunya sambil berkata, "Orang-orang pada kenapa, sih? Kok pada teriak 'Jilan'?
"Jilan itu Jisung Dilan"
"HAH?" Seketika alis Jisung tersentak berbarengan.
"Gara-gara lu pake jaket denim yang kemaren itu. Jadi pada bilang lu mirip Dilan"
"Serius lu, Le?
"Gue aja yang denger mau muntah! GELI!"
Jilan si primadona baru SMA 112, memindahkan semua pemberian para fans ke kolong meja. Sesekali teman sebangkunya nyomot Bengbeng tanpa permisi. Jisung cuek saja, toh masih punya banyak. Tidak mungkin ia habiskan sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-gara Park Jisung || Na Jaemin
FanfictionSemuanya biasa saja. Sampai di mana, kehidupan Jisung mulai berubah ketika ia kalah taruhan dengan makhluk usil tak kasat mata. . . . "Kamu inget nggak, kapan terakhir kali call wa Abang?" "Hmm ... lupa. Udah lama banget" "Tadi pagi, nomor wa kamu n...